CERPEN VI


KERIS SUDRA

"Sayang, tak inginkah kau buatkan aku secangkir kopi dan sepotong roti di meja?"
"Suamiku terkasih, lepas subuh tadi telah kusiapkan sambal goreng kentang kesukaanmu."
"Sayang, tak seperti biasanya kau memasak pagi-pagi untukku, ada apa?"
"Tuhan memberi kabar baik untuk kita, aku diangkat menjadi Asisten Manager, sayang. Selama 3 hari kedepan Beliau memintaku menemaninya untuk General Meeting di Lion."
"Kau tak pulang nantinya? Kau akan menginap dimana?"
"Suamiku, tenanglah! Aku bisa jaga diri baik-baik."
"Istriku, kau tahu siapa Managermu itu? Ia adalah sahabatku dulu waktu aku duduk dibangku SMA."
"Kenapa kau tak bilang dari dulu sayang, kenapa? Tahu begitu aku tak perlu susah-susah untuk membangun karirku."
"Tidak apa-apa!" Ujar Iwan kepada istrinya sambil menatap jendela apartemen yang dihujani salju.
***********
Aku adalah sebilah Keris, iya, sebilah Keris pusaka raja-raja Jawa. Aku ditempa dari alam dengan sebongkah baja dan batu meteor. Aku dibentuk dengan cipta karya tinggi, dibakar dengan nyala api membara, digilas berulang-ulang, diawali dan diakhiri dengan prosesi keagamaan. Namun aku bukan hasil karya para empu dari kaum brahmana kerajaan Majapahit sampai Mataram Islam, tidak sama sekali. Aku terlahir dan terdidik dari golongan sudra atau kaum rendahan. Kaum yang tak mengerti baca dan tulis apalagi untuk mengejakan norma dan nilai-nilai kehidupan untukku.
Namun, aku tetap lah sebuah Keris dan aku pantaskan diriku untuk hal itu. Sebuah pamor bagiku didapat dari sebuah proses yang panjang, dari kerasnya benturan palu-palu kehidupan, yang dengan sendirinya aura atau ruh dalam diriku beranjak sempurna.
Pepatah petitih yang mulai termakan jaman. Buah jatuh tidak jauh dari tempatnya sudah terlampau usang dan bahkan cenderung melemahkan langkah-langkah kaki. Apalagi, Bibit Bebet Bobot, terdengar seperti semboyan kuno yang sangat mengusik telinga. Aku terlahir untuk mempunyai hak yang sama, semangat hidup yang sama, impian yang sama dengan yang lainnya dan bahkan tidak pantas untuk dinilai sebagai sebuah kualitas. Budaya Jawa memang hasil cipta karsa dan karya yang terpelihara dari para leluhur. Sekalipun begitu, aku terkadang harus membebalkan diri dari nilai-nilai yang kuanggap menghambat derai langkahku.
Aku adalah anak pesisir, yang hidup di sebuah desa kawasan pantai utara. Di tempat yang gersang ini aku dilahirkan dari nelangsa pribumi yang berkasta dasar. Orang tuaku ditakdir menjadi budak-budak bangsawan atau para tuan tanah yang tak berperikemanusiaan. Seorang buruh tani yang semakin merana dalam kengerian, dapur yang tak mampu mengepul, ranjang yang tak berkasur dan tertindas demi segenggam beras.
Oh, malam yang sunyi, kenapa Kau ciptakan insan untuk tidak berkesempatan mengeja, bebal, dan terbelenggu dalam kesengsaraan.
Meskipun hidup miskin, kami terlanjur taat. Bukan lagi takdir yang berbicara namun kesediaan menjaga untuk selalu bersandar kepada Sang Maha, itu lah yang aku anggap sebagai bongkahan emas yang tak ternilai sebagai warisan dari keluarga.
“Nak, meskipun aku dan Ibumu tak bisa baca tulis, tapi orang tuamu menginginkan anaknya berpendidikan tinggi, berakhlak dan berilmu seperti mereka-mereka yang mampu.” Ujar Bapak setelah menyelesaikan wirid bakda Maghrib.
“Tapi uang dari mana Pak? Untuk makan saja kurang.” Sanggahku kepada Bapak.
“Sudah Ngger, untuk masalah biaya biar Ibu dan Bapak yang pikirkan. Kamu sekolah saja yang benar, belajar yang rajin biar pintar. Nanti jika ditanya Tuhan, kita mau jawab apa kalau kamu tidak sekolah?” Tutur Ibu sambil memelukku, lirih.
“Ampun Ibu, beribu ampun, bukannya aku ngeyel kepada orang tua, tapi tadi sore selepas Ashar dan Bapak Ibu masih di sawah, pak Sungkono datang menagih hutang.” Tuturku kepada Ibu dan sontak kami menangis dan berpeluk kasih.

Matahari harus terbit dan rembulan musti redam. Senja dan fajar silih berganti, hari-hari berlalu dengan sekenario alam yang begitu indah. Madrasah Ibtidaiyah yang setara dengan sekolah dasar ijazahnya telah berada dalam genggaman. Aku memang tak mengecam bangku taman kanak-kanak. Bukan karena aku tak mau merasakan riangnya bernyanyi lagu kebangsaan dengan segelas susu dan roti ditangan, namun memang belum dibangun gedung TK di desaku. Maklum desaku memang terpencil, 8 km dari kecamatan dan 25 km dari riuh ramai kota.
Roda terus melaju, berputar pada porosnya dan sedikit dencitan bising pada pedal kakinya. Suaranya seperti tikus yang terinjak ban mobil ketika pedal kekurangan pelumas, oli bekas. Asas kreatif dan keterbatasan biaya lantas tak menumpulkan akalku untuk menjadikan sandal bekas sebagai pengendali laju roda depan, sepeda perjuangan. Begitulah caraku unuk menyiangi jarak dan berpacu dengan laju waktu dari rumah ke sekolah.
Sekolah Menengah Pertama yang dinaungi oleh pemerintah menjadi pijakan selanjutnya. Kebanggaan yang sepantasnya karena puluhan teman-temanku menginginkan belajar di sekolah itu. Meskipun bangungannya telah usang, tembok yang mengelupas, dan pagar-pagar yang menua oleh terik matahari dan hujan, aku tetap nyaman mencumbu buku-buku pelajaran. Para guru datang silih berganti memberikan wejangan beberapa ilmu, dari ilmu sosial, ilmu alam, ilmu hitung, budaya, dan bahasa. Seperti laba-laba yang sibuk menyusun jaring pada atap kelas, aku pun terus membangun mental, wawasan, dan impian.
Tahun demi tahun terlampaui. Pendidikan formal di esok hari, mencari rumput untuk satu ekor sapi di sore hari, dan menyela waktu untuk bermain-main sebelum petang. Layaknya anak desa pinggiran yang mencari ikan dimusim hujan dengan bermandi dikali dan berbilas lumpur. Ini lah masa kecilku, tak mengenal sahabat, teman dekat, pacar, dan segala urusan orang remaja atau dewasa. Ini lah masa kecilku, tak mengerti teknologi, televisi, komputer, telepon genggam, dan segala kemajuan transportasi. Sejauh aku berlari keluar mengejar pesawat terbang yang sesekali melintas di atas rumah, sejauh itu pula aku menggantungkan angan sebagai tugas dan tanggungjawab kepada orangtuaku.
Kini aku telah di jenjang atas, sekolah menengah tingkat atas. Keharusan untuk meningkatkan pola pikir, menyesuaikan lingkungan yang baru untuk menapaki masa-masa baru, kata orang. Aku tak begitu memperdulikan itu. Program wajib belajar sembilan tahun dari pemerintah mengharuskanku untuk tetap bertahan. Setidaknya, bagaimana aku mampu bersaing dengan orang-orang kota, membacai buku-buku mereka karena aku datang bukan dari kota. Iya, aku telah sadar diri. Orangtuaku hanya seorang buruh tani dan aku dibiayai hanya dengan hasil memburuh seharian penuh. Namun aku tak gentar dan tak pernah gentar. Kesediaan bersandar kepada Yang Maha, itu lah satu-satunya modal dari orang tua. Kupelajari segala macam ilmu, budaya, dan bahasa. Dan sampai tiba dimana Tuhan Yang Maha membolak-balikkan dunia, menunjukkan welas asihNya.
Ini lah masa, dimana Tuhan sudah tak mampu membendung rinduNya kepada Bapakku, kerinduan yang tak terperi dengan mengambil Bapak dari kami. Sejauh mengenang-kenang namanya, sejauh merapal doa untuknya dan aku limbung sejadi-jadinya. Kami adalah miskin, sampai mengabadikan parasnya pun kami tak mampu. Kami adalah miskin, sampai mengundang Kiai ditujuh hari kematiannya kami pun tak mampu. Oh Tuhanku, kasih sayangMu sungguh berbagai-bagai.
Tujuh hari sudah aku tak bersekolah. Tujuh hari telah aku larut dalam kebimbangan, kesedihan, bermuram durja musnah seluruh harapan. Perjalananku masih ditengah jalan, aku masih duduk dikelas dua, antara berhenti atau terus berjalan. Dan setelah itu lah aku diperkenalkan dengan persahabatan.
Diantara teman-teman sekolahku, Fajar dan Mey yang teguh mencari-cari kabar dan keberadaanku. Sepulang sekolah mereka berkenan hati melawat kerumahku yang jelek. Dibawakannya aku berbagai macam bingkisan makanan dan buah-buahan, sekadar untuk menyenangkan hati dan pikiranku. Acap kali mereka bergumam dengan Ibuku di dapur, membantu berberes rumah dan membantu mengurus ternak. Ibu bilang kalau mereka senang berteman denganku. Memang tidak dipungkiri bahwa aku sering membantu jika mereka kesulitan dalam pelajaran.
Perlahan badai pun berlalu. Aku mulai menapaki langkah-langkah yang sempat terhenti. Yang telah terjadi adalah takdir Tuhan, kubingkai dalam sejarah-sejarah hidupku. Seperti lekuk-lekuk Keris, itu lah kehidupan. Kembali berjuang untuk masa depan. Ini lah arti pertemanan, setiap menanam pasti akan menuai, dan dengan mereka aku mengerti indahnya berbagi.
Masa remaja yang indah telah kita lalui bersama. Kesediaan mengerti, bercanda, berbagi tangis dan tawa. Itu lah kita, pengisi masa muda yang congkak, yang menggantungkan mimpi diantara gengam-genggam tangan kita.
Sampai pada saat kita dihadapkan pada ujian akhir sekolah. Ibarat mendaki puncak gunung Merapi, kita telah sampai pada tebing terakhir, mengumpulkan sagala daya dari sisa-sisa perjuangan. Perjalanan yang panjang dan penuh rintangan, sudah barang tentu tak ingin menyia-nyiakan waktu begitu saja.
Siang malam kita berkumpul untuk belajar, saling melengkapi kekurangan masing-masing dalam pemahaman materi pelajaran. Sesekali sebagai pelipur rasa jenuh, kita saling bertukar cerita tentang sosok belahan jiwa. Saling membayangkan sosok pasangan yang ideal. Tak jarang juga membicarakan tentang tingkah laku teman-teman lain yang menurut kita lucu dan aneh.
Waktu bertempur telah tiba. Entah ini yang dinamakan peraduan nasib atau pembuktian kualitas selama belajar tiga tahun. Selama tiga hari Ujian Akhir Sekolah akan diselenggarakan. Tiga mata pelajaran umum dan tiga mata pelajaran penjurusan. Dan kita pun bertiga! Persahabatan yang mempunyai mimpi setinggi langit.
Pagi itu memang benar berbeda, pertemuan kita tak seperti biasanya. Adit terlihat gugup sekali dengan muka merah padam dan Mey berubah menjadi agak pendiam. Mungkin mereka terlalu khawatir dengan ketidaksiapan mental untuk mengahadapi ujian yang begitu menentukan ini. Tak terkecuali denganku, sekalipun belajar semalam penuh tetap saja jantungku berdegup kencang. Aku hanya bisa merapalkan doa untuk kelancaran kita bersama.
Selama liburan panjang akhir sekolah, kita sudah tak pernah ketemu. Hanya beberapa kabar saja yang aku ketahui setelah pertemuan di hari terakhir ujian. Adit pergi ke Jakarta untuk menemui neneknya sembari mengurus segala keperluan untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Mey memutuskan untuk mengisi liburannya dengan mempelajari soal-soal latihan SNMPTN karena ia ingin meneruskan kuliah di perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah.
Dan ketika pengumuman sekolah, aku mengetahui bahwa kita bertiga lulus dengan nilai yang baik. Diantara tangis dan tawa bahagia, aku tak melihat kedatangan Adit dan hanya Mey yang berlari memberikan ucapan selamat untukku. Dan setelah itu teman-teman yang lain silih berganti memberikan ucapan selamat.
“Selamat untukmu Wan, atas keberhasilanmu menjadi lulusan terbaik.” Ujar Arif kepadaku.
“Selamat juga, Rif.” Kataku.
“Oh iya, ini ada titipan surat dari Adit, untukmu.” Sahut Arif kepadaku.
Aku sontak terkejut menerima surat itu. Terbungkus rapi dengan amplop berwana coklat dan seketika itu pula kubuka dan kubaca:
Untukmu, Iwan.
Sahabatku, terkasih.
Maafkan aku kawan, aku adalah pengecut yang tak berani berterus terang dihadapanmu. Semua kulakukan demi menjaga hati dan perasaan kita berdua. Sejujurnya, aku telah menemukan catatan kecil dalam buku sakumu, semester lalu. Kau memendam rasa kepada Mey, bukan? Begitu juga aku. Aku akui memang aku terlampau picik. Di malam sebelum Ujian Akhir Sekolah kemarin, aku mengutarakan perasaanku kepada Mey karena aku tak ingin kau memilikinya! Aku tak ingin kehilangan Mey karena aku menyukainya sebelum kita berdua dekat denganmu.
Namun, aku akui memang. Aku tak pernah menang dengan kau. Aku tak pernah unggul dari kau, Iwan. Kau memang pintar segalanya dariku! Dan bahkan pintar mendapatkan hatinya Mey.
Sekali lagi maafkan aku kawan. Aku sungguh pengecut. Semoga kau bahagia dengannya dan suatu saat aku pasti lebih unggul dari kau. Salam.
Sahabatmu, Adit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar