Melati No. 29
Jalan yang melintasi Sekaran
nampak semakin berliku, panjang dan semakin naik dibawah temaram lampu pegunungan,
iya,Gunung Pati. Di sebelah kiri, berjajar ruko-ruko tua yang usang terlindas
waktu, pada gang-gang kecil berjejal rumah kost dan kontrakan, maklum Sekaran
memang kawasan kampus. Di sebelah kanan, bertumpah ruah muda-mudi bergerombol,
sekadar menikmati hangatnya secangkir kopi, berkumpul dan berbincang hal-hal
yang konyol. Banyak sekali kedai yang menjajakkan ragam kopi dari kualitas
rendahan sampai chocopucino beraroma kopi Itali, dan lalu-lalang kendaraan
bergemuruh menambah panasnya malam ini.
Udara di pegunungan malam hari
seharusnya dingin, tapi tidak untuk kali ini, mungkin tanda-tanda akan turun
hujan, terlampau beberapa hari hujan tak turun di Sekaran, padahal November ini
adalah musim penghujan, gerimis hanya turun setengah atau satu jam saja sehari,
mungkin pergantian cuaca yang tak tentu membuat suasana semakin gerah untuk
dirasakan. Hanya keringat yang menetes menembus kaos seharga dua puluh lima
ribu, yang dibeli Emon dari pasar malam samping masjid, biru kusam dan sedikit
bercak hitam dibagian lehernya, ah, nampak wajar jika melihat perawakan emon
yang berat, perutnya agak melebar dan membulat seperti baskom, bertinggi 170cm,
sorot matanya semakin hilang tertutup lemak diwajahnya dan sedikit jenggot yang
menghujam ke leher, namun Emon salalu bersyukur dengan apa yang telah diberikan
tuhan kepadanya.
Malam semakin larut, udara
semakin menggila dengan gerahnya, dan kebosanan yang tak terbendung membuat
Emon pergi dengan teman-temannya, menepi di kedai kopi langganan, semua teman
diundang, Gadil datang, Arif datang, Hisam datang, dan satu persatu merapat,
buncah seribu obrolan penuh canda tawa, namun ada kejanggalan malam ini, Faris
yang biasanya datang paling awal tak nampak batang hidungnya, Emon dan
teman-temannya semakin mereke-reka, ada apa dengan Faris?
Handphone Emon bergetar keras,
satu panggilan pribadi muncul di muka layar, tak diketahui dari siapa dan
segera Emon menjawab telponnya.
“halo,,selamat malam, dengan
siapa ini?”
“selamat malam, dengan staff
RS. Kryadi disini, pasien di kamar Melati no.29 bernama Faris, menderita
serangan jantung kronis akibat mengonsumsi alkhohol terlalu banyak, kami hanya
bisa menghubungi anda, mohon konfirmasi sekarang juga.”
“iya, saya akan segera kesana.”
Ditutup telepon itu dengan wajah yang panik.
*****
Magrib berkumandang, Faris
bergegas mengambil handuk dan peralatan mandi di samping pintu kamarnya, 1
gayung, 2 gayung, dan nampaknya Faris ingin berlama-lama di dalam kamar mandi,
bersiul dan bernyanyi diantara gemuruh air bergayung sambut, jarang sekali hal
ini dilakukan Faris saat dia mandi, mungkin Faris ingin nampak bersih malam
ini.
Pukul tujuh segera datang, denting
waktu berlalu dengan cepat, dikenakannya hem panjang biru langit, berpetak-petak
seakan menunjukkan ketegasan dirinya, Jins warna hitam segera dipakainya, semua
nampak rapi dengan garis setrika tadi sore. Malam ini Faris nampak tampan dan
garang, diplintirnya kumis ke kanan dan kiri, menjulur kebawah seperti tanduk
matador, rambut yang menjulang ke atas dengan balutan Gatsby WG, nampak licin
dan kaku. Semua telah siap, tak tertinggal parfum Casablanca pun melumuri harum
tubuhnya.
Malam ini adalah malam special
Faris, malam yang telah ditunggu-tunggu dari bulan-bulan terakhir ini, untuk
pertama kalinya dia akan bertemu dengan seorang wanita yang telah dikenalnya
lewat jejaring sosial, berlanjut meminta
nomer Hp dan komunikasi semakin lancar, mereka saling berkenalan. Faris adalah
mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab semester lima, keislaman Faris tak diragukan
lagi, sebagai muslim yang taat Faris berkenalan dengan gaya laki-laki soleh,
selalu menunjukkan kebaikan dan kebenaran diatas masalah-masalah pekik yang
dihadapi wanita itu, Faris tak tau sama sekali bagaimana gambaran konkrit
wanita yang dikenalnya lewat Facebook itu, hanya sebatas tau nama dan sebingkai
foto 5x6 yang terpampang diberanda depan. Ia lah Fika, mahasiswi Ekonomi
disalah satu perguruan tinggi swasta di Solo, informasi ini didapatkannya
setelah berkenalan lebih jauh.
Waktu berjalan cepat kedepan,
seperti cupido memanahkan getar-getar cinta diantara mereka, berbalas sms satu
sama lain membuat kedekatan Faris dan Fika semakin dalam, kecuali ketika hari
minggu Fika tak mau berbalas sms, mungkin Fika mau menghabiskan waktu dengan
keluarganya atau sekadar membatasi diri untuk privacy mereka, komunikasi itu
berlanjut, bercerita tentang kebiasaan mereka sehari-hari, bertukar pikiran
menuju satu pandangan, dan perasaan itu berjalan lebih cepat dari gerak waktu
yang bergulir.
Telah lama Faris mendambakan
Pujaan hati untuk mengisi kekosongan hatinya, maklum waktu Faris dihabiskan
dengan menghafal hadis-hadis dan sibuk berjibaku dengan kitab-kitab berhuruf
gandul, huruf yang tak ber-harokhat (dalam arab) dan tak ber-accent (dalam
Prancis). Syariat-syariat islam hafal diluar kepala, hukum-hukum Fiqih semakin
mempertebal keimanannya. Dibalik pribadi Faris yang taat itu, tuhan memberikan
anugrah padanya dengan Jantung kronis, anugrah yang membatasi hidupnya dalam
hitungan bulan, dan hampir teman-temannya tak tahu menahu tentang penyakit yang
dideritanya, hal ini juga membuat Faris takut untuk memiliki Fika. Akan tetapi
Faris tak bisa membohongi rasa yang telah ada diantara mereka.
Hari ini Fika datang ke Semarang,
berjanji pada Faris bahwa dia akan menemuinya, dan malam telah tiba, Fika tak
sempat berdandan, jam telah menunjuk ke angka tujuh, semua barang-barang Fika
masih berada dalam tas punggung warna hitam yang dibawanya, bersepakat bertemu
di “GreenBlack cafe”, dan mereka saling bertegur sapa, badan Faris panas dingin
melihat paras Fika untuk pertama kalinya, keringat bercucuran mengalir membanjiri
badan Faris, maklum malam ini Faris berniat untuk mengungkapkan perasaannya
pada Fika.
Tak banyak yang dilakukan Faris dan Fika. Mereka
hanya saling melempar pandangan, hening dan hampir tak ada sepatah kata pun
yang terucap dari mulut Faris, hanya senyum sipu yang yang mengisi satu jam
pertemuan mereka. Segalas coklat panas dan strawberry milk cafe menghiasi keheningan
mereka, free hotspot yang disediakan oleh penegelola cafe akan mubazir jika
tidak digunakan, Fika membuka tas yang dibawa itu untuk mengambil laptop, agak
sulit memang mengambil laptop yang berada paling bawah diantara barang-barang
yang dibawa Fika, dan terpaksa harus dikeluarkan satu-satu,
dompet merah jambu yang
pertama,
headphone yang kedua
dan Injil yang ketiga.
Detik berlalu, berputar cepat
pada porosnya, antara cinta dan agama, mempunyai proporsi yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar