Like father like son? Who had made a bitch sentence
like that? Remember that Allah is going to love you when you trust Him or not!
Babarapa waktu yang lalu saya
menjumpai seseorang yang dengan sengaja atau tidak telah menunjukkan
perhatiannya padaku dengan tikaman kata-kata. Kedatangan kalimat yang antah
berantah dari mana asal mulanya, namun dari bahasanya berasal dari bahasa
Inggris. "Like father like son" tertulis jelas dalam personal message
BBM seorang teman lama. Mungkin dia sedang bungah dengan sosok ayahnya atau
memang berusaha menjadi bijak untuk beberapa saat kebelakang. Dia menuliskan
kalimat tersebut untuk umum, tapi berhubung saya membaca dan agak kebanyakan
makan daging kambing, maka saya bergegas mengulasnya lewat tulisan saja. Bukan
berati saya pengecut dan takut berdebat, tapi kali ini saya lebih baik sadar
diri saja.
Siapa tahu apa yang dia katakan benar adanya atau memang belum tentu
benar atau mutlak salah. Lebih baik saya mengulasnya dengan bahasa dan
pemikiran saya sendiri. Dengan tulisan saya bebas mengekspresikan pendapat dan
pandangan yang mengusik ketentraman otak saya. Mungkin saya yang terlalu lelah
atau memang otak saya terlalu lama ngeslow untuk membahas sesuatu. Ok sipp mari
membicarakan "Like father like son"!
Idiom atau bisa juga
dikatakan pribahasa "Like a father like son" memang dikemas dalam
bahasa Inggris. Namun, saya mensinyalir kalimat tersebut diambil atau diserap
dari bahasa kita, Indonesia. Jika dialih bahasakan ke dalam bahasa indonesia,
kalimat tersebut menjadi "ayah dan anak sama saja". Bagi pemula yang
mempelajari bahasa Inggris seperti saya, biasanya menerjemahkan kalimat
tersebut dengan "seperti apa seorang ayah, begitu pula menurun kepada
anaknya sekarang". Terdengar sangat ideal jika memang sosok seorang ayah sebagai
sosok yang ideal di mata umum masyarakat Indonesia. Sosok ayah yang diharapkan
sebagaimana mestinya, yang mengayomi keluarga, bijaksana, mempunyai jiwa
pemimpin keluarga yang baik, amanah dan lain-lain. Bagi kebanyakan orang
menerima dengan baik idiom tersebut jika sosok seorang ayah sama seperti yang
telah dipaparkan di atas. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak merasakan atau
mendapatkan sosok ayah yang seperti itu?
Bagi sebagian orang, yang
tidak mempunyai sosok ayah yang seperti itu pasti akan menolak keberadaan idiom
tersebut. Entah itu dianggap sebagai cara menilai seseorang dengan brutal atau
kekhawatiran yang muncul dalam diri akan kebenaran idiom tersebut. Hal yang
wajar jika terdapat penolakan dan sekaligus kekhawatiran yang berlebih akan
"Like father like son" akan menurun pada seorang anak yang mempunyai
ayah dengan kondisi yang kurang diharapkan. Padahal kita sebagai pribadi yang
ingin menjadi lebih baik dari seorang panutan yang dianggap kurang amanah,
seolah-olah kita tertikam dengan idiom tersebut. Selayaknya kita sudah belajar
dari yang sudah terjadi dan dialami untuk menjadi lebih baik. Seperti kalimat
jawaban dari idiom tersebut, "Son has to be better than father!".
Siapa sih yang mau terjatuh pada lubang yang sama ketika kita sudah melihat
bahwa orang yang lebih dahulu melalui jalan itu telah terjungkal. Dan begitu
kiranya saya sedang berusaha untuk bersiaga dan waspada untuk tidak mengikuti
jejak orang yang kurang amanah atau sedang lupa dengan kata "amanah".
Keberadaan idiom tersebut,
Like father like son, merupakan sebuah pilihan. Semacam kalimat yang diambil
dari ribuan tahun pengamatan terhadap lingkungan sekitar, terhadap keadaan dan
kejadian-kejadian dalam sebuah keluarga, secara turun temurun dan menghasilkan
idiom tersebut. Saya lebih menilai kalimat tersebut sebagai ater-ater atau batasan untuk
berhati-hati dalam melangkah. Seperti sebuah pagar pembatas agar kita tidak
keluar dari jalur kehidupan sebagaimana mestinya. Namun jika idiom tersebut
digunakan seseorang untuk menjudge orang lain secara sepihak, mutlak itu tidak
diperkenankan.
Dalam budaya Jawa,
nilai-nilai luhur sudah diatur dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
yang sama, nilai-nilai luhur yang sama, tempat dan lokasi yang sama (Jawa),
akan tetapi kita harus ingat bahwa masa dan jaman sudah berbeda. Sebagai
seorang yang bijak dan mampu memilah untuk menyesuaikan dengan jaman, cara
leluhur untuk menilai seseorang dari bibit,
bobot, dan bebet itu sudah tidak cocok lagi jika diterapkan pada jaman
sekarang. Jika kacang ninggal lanjaran atau buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya, lalu bagaimana jika buah tersebut sebelum jatuh sudah dipetik oleh
yang Empunya Buah untuk dimanfaatkan dengan baik dan benar? Pasti bermanfaat
bukan untuk orang yang memerlukan buah tersebut?
Celakanya, bagi kebanyakan
orang masih saja menganggap nilai-nilai tersebut mutlak kebenarannya sebagai
cara yang terbaik menilai seseorang. Padahal mereka itu tidak pernah tau jika
buah tersebut sudah mendapatkan pupuk berkwalitas tinggi, sudah mengalami
pencangkokan, sudah mendapatkan suplly air yang cukup, dan sinar matahari yang
melimpah untuk berfotosintesis. Sekalipun awalnya bibit tersebut jelek, jika
mendapatkan perawatan dan terpenuhi semua kebutuhan sari makanan, saya yakin
akan menghasilkan buah dengan kwalitas yang berbeda, yang lebih baik tentunya.
Lalu, jika tetap ada yang
bicara "sebaik apapun buah jatuhnya tak jauh dari pohonnya". Ok
baiklah, itu memang wajar dan masuk akal. Tapi apakah buah yang jatuh disekitar
tersebut rasanya sama tak enak jika bibitnya jelek? Jawabannya adalah
"No!". Ibarat pohon mangga, memang pasti akan bernama buah mangga,
tidak manggis tidak jeruk. Jika pohon mangga gadung, tetap buah mangga gadung,
bukan harum manis atau kuweni. Tapi sekalipin berasal dari pohon mangga gadung,
tak selamanya buah mangga gadung berasa kecut. Itu yang paling penting.
Ingatkah kalian tentang cerita
pewayangan termin berpikir nenek moyang kita. Anoman adalah seorang kesatria
yang berwujud kera. Dia terlahir dari ibu yang sempurna sebagai sosok ibu yang
ideal, dewi Anjani. Anoman terlahir dari perkawanian dewi Anjani dengan Bethara
Guru, seorang dewa yang suci dan sangat diagungkan. Lalu kenapa perawakan
Anoman tak seperti gambaran anak yang ideal? Jiwa ksatria juga bukan turunan
dari Bethara Guru, karena seyogyanyanya seorang dewa itu suci dan sekalipun
beranak maka tidak "nyleneh"
begitu. Sepantasnya dia menjadi soerang resi. Tapi Anoman bukan seorang resi
yang selalu bertapa untuk menyucikan diri.
Kita ambil contoh real saja.
Presiden SBY itu dari beberapa anaknya tidak semua seperti ayahnya. Edi baskoro
itu menurut saya juga tidak seperti ayahnya dan tidak mewarisi bakat ayahnya
sebagai pemimpin republik ini. Tidak juga gagah tinggi besar seperti pak SBY
kan? Contoh lain, Cak Nun atau MH. Ainun Najib itu seorang tokoh Indonesia dan
sekaligus bidayawan yang terkenal di masyarakat indonesia. Dia mempunyai anak
bernama Sabrang, lalu coba liyat dan amati, apakah Si Sabrang itu sama seperti
ayahnya? Bukan! Dia lebih memilih menjadi vokalis band Letto, perwatakan dan
sifatnya tidak nyawiji dengan sosok
ayahnya, padala Sabrang itu dilahirkan dari bibit unggul. Jika belum puas juga,
sayyid Abdullah itu beliau terlahir sebagai seorang yang biasa saja, sederhana,
keluarga miskin. Tapi nyatanya mampu menghasilkan anak yang sekarang namanya
diagungkan seluruh umat muslim di dunia, Muhammad SAW. Entah itu campurtangan
Tuhan atau tidak, secara genetis dan logis tidak sinkron dengan serentetan
pribahasa yang disebutkan diatas kan? Lalu? Masih kekeh dengan mindset yang itu-itu mulu?
Baiklah, begini saja, setiap
orang punya prinsip dan cara pandang yang berbeda. Idiologi adalah pondasi
mutlak dalam diri untuk berpijak dalam menjalani kehidupan. Idiologi kita
berbeda-beda, idiologi pancasila tidak bisa disuruh menganut sistem monarki absolut.
Maka dari itu, mari berjalan dengan pondasi masing-masing, dengan nilai dan
keyakinan sendiri-sendiri, yang paling penting adalah kita menuju pada satu
titik, kebahagiaan. Perbedaan itu indah, seperti pelangi yang muncul diakhir
hujan yang turun sepanjang hari ini. Salam menulis.
Disusun oleh: Eko Romansah
19/11/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar