Sabtu, 23 November 2013

Like Father Like Son


Like father like son? Who had made a bitch sentence like that? Remember that Allah is going to love you when you trust Him or not!

Babarapa waktu yang lalu saya menjumpai seseorang yang dengan sengaja atau tidak telah menunjukkan perhatiannya padaku dengan tikaman kata-kata. Kedatangan kalimat yang antah berantah dari mana asal mulanya, namun dari bahasanya berasal dari bahasa Inggris. "Like father like son" tertulis jelas dalam personal message BBM seorang teman lama. Mungkin dia sedang bungah dengan sosok ayahnya atau memang berusaha menjadi bijak untuk beberapa saat kebelakang. Dia menuliskan kalimat tersebut untuk umum, tapi berhubung saya membaca dan agak kebanyakan makan daging kambing, maka saya bergegas mengulasnya lewat tulisan saja. Bukan berati saya pengecut dan takut berdebat, tapi kali ini saya lebih baik sadar diri saja.
Siapa tahu apa yang dia katakan benar adanya atau memang belum tentu benar atau mutlak salah. Lebih baik saya mengulasnya dengan bahasa dan pemikiran saya sendiri. Dengan tulisan saya bebas mengekspresikan pendapat dan pandangan yang mengusik ketentraman otak saya. Mungkin saya yang terlalu lelah atau memang otak saya terlalu lama ngeslow untuk membahas sesuatu. Ok sipp mari membicarakan "Like father like son"!

Idiom atau bisa juga dikatakan pribahasa "Like a father like son" memang dikemas dalam bahasa Inggris. Namun, saya mensinyalir kalimat tersebut diambil atau diserap dari bahasa kita, Indonesia. Jika dialih bahasakan ke dalam bahasa indonesia, kalimat tersebut menjadi "ayah dan anak sama saja". Bagi pemula yang mempelajari bahasa Inggris seperti saya, biasanya menerjemahkan kalimat tersebut dengan "seperti apa seorang ayah, begitu pula menurun kepada anaknya sekarang". Terdengar sangat ideal jika memang sosok seorang ayah sebagai sosok yang ideal di mata umum masyarakat Indonesia. Sosok ayah yang diharapkan sebagaimana mestinya, yang mengayomi keluarga, bijaksana, mempunyai jiwa pemimpin keluarga yang baik, amanah dan lain-lain. Bagi kebanyakan orang menerima dengan baik idiom tersebut jika sosok seorang ayah sama seperti yang telah dipaparkan di atas. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak merasakan atau mendapatkan sosok ayah yang  seperti itu?

Bagi sebagian orang, yang tidak mempunyai sosok ayah yang seperti itu pasti akan menolak keberadaan idiom tersebut. Entah itu dianggap sebagai cara menilai seseorang dengan brutal atau kekhawatiran yang muncul dalam diri akan kebenaran idiom tersebut. Hal yang wajar jika terdapat penolakan dan sekaligus kekhawatiran yang berlebih akan "Like father like son" akan menurun pada seorang anak yang mempunyai ayah dengan kondisi yang kurang diharapkan. Padahal kita sebagai pribadi yang ingin menjadi lebih baik dari seorang panutan yang dianggap kurang amanah, seolah-olah kita tertikam dengan idiom tersebut. Selayaknya kita sudah belajar dari yang sudah terjadi dan dialami untuk menjadi lebih baik. Seperti kalimat jawaban dari idiom tersebut, "Son has to be better than father!". Siapa sih yang mau terjatuh pada lubang yang sama ketika kita sudah melihat bahwa orang yang lebih dahulu melalui jalan itu telah terjungkal. Dan begitu kiranya saya sedang berusaha untuk bersiaga dan waspada untuk tidak mengikuti jejak orang yang kurang amanah atau sedang lupa dengan kata "amanah".

Keberadaan idiom tersebut, Like father like son, merupakan sebuah pilihan. Semacam kalimat yang diambil dari ribuan tahun pengamatan terhadap lingkungan sekitar, terhadap keadaan dan kejadian-kejadian dalam sebuah keluarga, secara turun temurun dan menghasilkan idiom tersebut. Saya lebih menilai kalimat tersebut sebagai ater-ater atau batasan untuk berhati-hati dalam melangkah. Seperti sebuah pagar pembatas agar kita tidak keluar dari jalur kehidupan sebagaimana mestinya. Namun jika idiom tersebut digunakan seseorang untuk menjudge orang lain secara sepihak, mutlak itu tidak diperkenankan.

Dalam budaya Jawa, nilai-nilai luhur sudah diatur dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya yang sama, nilai-nilai luhur yang sama, tempat dan lokasi yang sama (Jawa), akan tetapi kita harus ingat bahwa masa dan jaman sudah berbeda. Sebagai seorang yang bijak dan mampu memilah untuk menyesuaikan dengan jaman, cara leluhur untuk menilai seseorang dari bibit, bobot, dan bebet itu sudah tidak cocok lagi jika diterapkan pada jaman sekarang. Jika kacang ninggal lanjaran atau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, lalu bagaimana jika buah tersebut sebelum jatuh sudah dipetik oleh yang Empunya Buah untuk dimanfaatkan dengan baik dan benar? Pasti bermanfaat bukan untuk orang yang memerlukan buah tersebut?

Celakanya, bagi kebanyakan orang masih saja menganggap nilai-nilai tersebut mutlak kebenarannya sebagai cara yang terbaik menilai seseorang. Padahal mereka itu tidak pernah tau jika buah tersebut sudah mendapatkan pupuk berkwalitas tinggi, sudah mengalami pencangkokan, sudah mendapatkan suplly air yang cukup, dan sinar matahari yang melimpah untuk berfotosintesis. Sekalipun awalnya bibit tersebut jelek, jika mendapatkan perawatan dan terpenuhi semua kebutuhan sari makanan, saya yakin akan menghasilkan buah dengan kwalitas yang berbeda, yang lebih baik tentunya.

Lalu, jika tetap ada yang bicara "sebaik apapun buah jatuhnya tak jauh dari pohonnya". Ok baiklah, itu memang wajar dan masuk akal. Tapi apakah buah yang jatuh disekitar tersebut rasanya sama tak enak jika bibitnya jelek? Jawabannya adalah "No!". Ibarat pohon mangga, memang pasti akan bernama buah mangga, tidak manggis tidak jeruk. Jika pohon mangga gadung, tetap buah mangga gadung, bukan harum manis atau kuweni. Tapi sekalipin berasal dari pohon mangga gadung, tak selamanya buah mangga gadung berasa kecut. Itu yang paling penting.

Ingatkah kalian tentang cerita pewayangan termin berpikir nenek moyang kita. Anoman adalah seorang kesatria yang berwujud kera. Dia terlahir dari ibu yang sempurna sebagai sosok ibu yang ideal, dewi Anjani. Anoman terlahir dari perkawanian dewi Anjani dengan Bethara Guru, seorang dewa yang suci dan sangat diagungkan. Lalu kenapa perawakan Anoman tak seperti gambaran anak yang ideal? Jiwa ksatria juga bukan turunan dari Bethara Guru, karena seyogyanyanya seorang dewa itu suci dan sekalipun beranak maka tidak "nyleneh" begitu. Sepantasnya dia menjadi soerang resi. Tapi Anoman bukan seorang resi yang selalu bertapa untuk menyucikan diri.

Kita ambil contoh real saja. Presiden SBY itu dari beberapa anaknya tidak semua seperti ayahnya. Edi baskoro itu menurut saya juga tidak seperti ayahnya dan tidak mewarisi bakat ayahnya sebagai pemimpin republik ini. Tidak juga gagah tinggi besar seperti pak SBY kan? Contoh lain, Cak Nun atau MH. Ainun Najib itu seorang tokoh Indonesia dan sekaligus bidayawan yang terkenal di masyarakat indonesia. Dia mempunyai anak bernama Sabrang, lalu coba liyat dan amati, apakah Si Sabrang itu sama seperti ayahnya? Bukan! Dia lebih memilih menjadi vokalis band Letto, perwatakan dan sifatnya tidak nyawiji dengan sosok ayahnya, padala Sabrang itu dilahirkan dari bibit unggul. Jika belum puas juga, sayyid Abdullah itu beliau terlahir sebagai seorang yang biasa saja, sederhana, keluarga miskin. Tapi nyatanya mampu menghasilkan anak yang sekarang namanya diagungkan seluruh umat muslim di dunia, Muhammad SAW. Entah itu campurtangan Tuhan atau tidak, secara genetis dan logis tidak sinkron dengan serentetan pribahasa yang disebutkan diatas kan? Lalu? Masih kekeh dengan mindset yang itu-itu mulu?

Baiklah, begini saja, setiap orang punya prinsip dan cara pandang yang berbeda. Idiologi adalah pondasi mutlak dalam diri untuk berpijak dalam menjalani kehidupan. Idiologi kita berbeda-beda, idiologi pancasila tidak bisa disuruh menganut sistem monarki absolut. Maka dari itu, mari berjalan dengan pondasi masing-masing, dengan nilai dan keyakinan sendiri-sendiri, yang paling penting adalah kita menuju pada satu titik, kebahagiaan. Perbedaan itu indah, seperti pelangi yang muncul diakhir hujan yang turun sepanjang hari ini. Salam menulis.


Disusun oleh: Eko Romansah
19/11/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar