cerpen

-->
Ariful Khusni Adalah mahasiswa Teladan
Khusni adalah mahasiswa semester lima Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas   Negeri Semarang. Nama lengkapnya adalah Ariful Khusni, nama yang terlahir 17 Agustus 1988 itu adalah hasil munajat orang tuanya dari Kyai di sekitar kampung dimana dia dilahirkan. Khusni diminta meneruskan study setelah lulus Madrasah Aliyah dengan harapan dia lah yang nantinya akan mengangkat harkat dan derajat keluarganya.
Sore sebelum senja Khusni telah menyelesaikan rutinitas perkuliahannya di gedung B4 Bahasa dan Sastra Asing, 29 September 2011 tepat pada hari Jumat pukul 15.00 dia harus memimpin rapat harian devisi III departemen yang membawahi semua kegiatan mahasiswa Arab baik prodi kependidikan maupun murni. Rapat berjalan lancar dan baik, program kerja yang harus diselesaikan dengan teman-teman pengurus harian lainya satu per satu telah dilalap habis lengkap dengan notulen rapat.
Sejenak Khusni tak merasakan apa yang terjadi dalam lambungnya karena sepiring Gado-gado dirasa cukup untuk pengganjal perut. Memang hari ini dia tidak begitu banyak punya jam kuliah. Hanya ada satu mata kuliah Nahwu Shorof seperti kuliah grammer pada bahasa Inggris, selama 3 sks dari pukul 13.00 sampai 15.30 selesai. Khusni telah mempersiapkan segala sesuatunya pada malam sebelumnya. Dia cermati materi yang akan dibahas oleh dosen ke esokan harinya. Tak lupa Khusni juga mengerjakan semua tugas-tugas yang telah diberikan dosen minggu lalu. Dia tak begitu khawatir dengan hari ini karena dosen pengampu mata kuliah ini tidak begitu galak. Dosen yang mempunyai naluri ke-ibuan cukup kuat ini, tak membuat Khusni takut dimarahi ketika ia tidak bisa menjawab pertanyaan dari dosennya.
Malam sebelum Khusni melakukan rutinitasnya pada hari ini, dia menghabiskan malam dengan duduk di atas gorong-gorong depan warung kopi lelet milik usahawan sukses dari kota Rembang. Bukan secangkir kopi yang dia pesan tetapi segelas minuman sachet yang kata orang bisa membuat lebih bertenaga. Dirasa tepat oleh Khusni meminum segelas es segar untuk membuat tubuhnya tidak lemas karena belum makan malam. Alih-alih duduk-duduk santai Khusni berharap besar salah satu temannya datang padanya. Sebelumnya Khusni telah membuat janji dengan temannya itu untuk meminjam beberapa uang. Hal yang dirasa perlu oleh Khusni karena kiriman uang untuknya dari rumah tak kunjung datang. Malam semakin larut ketika mereka berbincang-bincang sendu, tertawa dalam temaram lampu jalan seakan rasa lapar itu tak pernah ada.
Esoknya, tepat setelah sholat jumat Khusni bergegas mencari makan dan untungnya uang yang tadi malam dipinjam dari temannya cukup untuk membayar sepiring gado-gado dan segelas teh. Detik pun berjalan dengan cepat dan ternyata waktu memaksa Khusni bergegas menuju kampus tanpa memberi kesempatan Khusni untuk menurunkan nasi yang masih ada di tenggorokannya. Dengan nafas terbata-bata khusni akhirnya sampai di kelas. Ironisnya lagi, dosen pengampu mata kuliah itu tidak bisa mengajar dan hanya meninggalkan deretan tugas lagi. Dalam hati Khusni bergumam dan menggerutu karena dia tak sempat menghisap tembakau basah setelah makan siang tadi hanya karena tidak ingin telat masuk di  kelas. Segera dikerjakannya tugas itu tanpa menghiraukan canda gurau temannya. Tetap terpaku pada soal-soal dan akhirnya sampai pada pertanyaan pamungkas. Dengan gamang dia titipkan pekerjaannya pada komite kelas untuk dikumpulkan. Khusni kebingungan untuk memutuskan apakah dia pulang ke kost dulu atau tetap di kampus sambil menunggu teman-temannya untuk rapat.
Jarum jam masih berada di angka dua, padahal rapat mulai jam tiga. Khusni duduk di selasar gedung B4 yang menjulang tinggi tempat para ahli bahasa berkumpul. Dipandanginya deretan mobil milik pejabat dekanat dan sesekali gerombolan mahasiswa melintas di depannya. Sekilas Khusni tak menghiraukan hal itu karena dibenaknya terpatri rasa bersalah kepada orangtuanya dengan meminta uang terus-terusan tiap bulan. Angannya semakin jauh ketika dia merasa takut apakah dia mampu membalas jasa dan budi kepada orang tuanya nanti. Kelopak matanya samar-samar memunculkan warna-warna seperti pelangi. Mungkin merupakan bias dari selaput air yang perlahan keluar dan tersesat diantara alis yang tebal. Angan itu melayang sejauh mungkin dan datanglah suara azan ashar yang menunjukkan bahwa telah tiba pukul tiga sore. Rapat berlangsung dengan lancar dan berkhir pada jam lima sore. Bergegas Khusni menarik gas motornya karena dia ingin segera beristirahat, badannya lemas. Mungkin Khusni tadi hanya makan satu piring saja yang dirasa olehnya kurang karena malamnya dia tidak makan sedikitpun.
Khusni sore ini tidak lewat jalan yang biasanya dia lewati karena jalan itu ditutup oleh pihak kampus untuk mengadakan acara bazar tahunan. Khusni tak sedikitpun menghiraukan acara seperti itu karena dia tak suka dengan keramaian. Khusni berbalik dan melewati jalan yang tidak biasanya dia lewati sehabis pulang kuliah. Jalan itu agak jauh ketimbang jalan biasanya karena harus berputar dulu melewati kawasan depan kampus. Jalannya berliku naik turun membuat motor Khusni lebih berat dan boros bahan bakar. Maklum motor Khusni sudah termakan usia dan sekarang sering rusak. Tepat pada tikungan menanjak dan bertebing, tiba-tiba motor yang dinaikinya tak mau berjalan lagi dan memaksa Khusni harus menepi untuk memeriksa kondisi kendaraannya. Setelah beberapa menit Khusni berjibaku dengan kuda besinya, Khusni tau bahwa bensin motornya habis tak tersisa setetes pun. Dia kebingungan bagaimana cara untuk membuat motornya hidup kembali. Diambilnya dompet di dalam saku celana dan tak ada recehan uang sedikitpun. Dimasukkan jari tangan Khusni ke dalam saku celana depannya, berharap dia lupa menyelipkan uang disudut saku celana tetapi tak selembar uang pun ditemukannya. Sebetulnya Khusni sudah tau bahwa uang yang dipinjamnya  dari teman tadi malam itu, telah habis untuk membeli sepiring gado-gado tadi siang. Akan tetapi Khusni mencoba mencari-cari sisa uang dengan maksud barang kali dia beruntung karena seringkali dia temukan uang tanpa sengaja di saku celanya sehabis dicuci. Namun untuk kali ini dia tak seberuntung hari-hari biasanya.
Asa yang menghidupkan semangat Khusni untuk berjuang meraih cita-cita kini terhenti sejenak. Dipandanginya tanah yang telah jadi pijakan tubuh yang semakin melemah dan dia bertanya pada tanah. “Hai tanah, apakah kau tau dan mengerti keadaanku?” ujarnya dalam hati dengan mata berkunang-kunang. Sorot matanya terpaku pada satu batu yang hampir tenggelam di telan tanah. “Hai batu, apakah kau sekeras kehidupanku?” ujar Khusni sambil tersenyum. Dirasa cukup khusni menghadap kebawah karena matanya semakin gelap. Dipalingkan tatapan wajahnya kelangit menuju pendar berwarna jingga. Dititipkan sejenak semangat Khusni pada indahnya awan yang berlari menuju gelap. Dihirupnya udara sore sedalam-dalamnya sama seperti keteguhan hati Khusni melalui rintangan kehidupan.
Sejauh mata memandang, Khusni berusaha menembus deretan jingga. Di ujung tebing terlihat nyiur pohon melambai mengajak Khusni melayang menuju petang. Terdiam Khusni berdoa pada pencipta jingga. “Tuhan, jangan Kau berhenti menyuruh aku ber drama sampai setelah orang tuaku bangga dengan keberhasilanku.” ujar Khusni sepenuh hati. Mentari semakin jauh, Khusni tak ingin termakan oleh gelap. Di ambilnya ponsel hasil dari meminjam setelah ponselnya sendiri raib diambil maling ketika ia tidur. Khusni ragu ingin meminta bantuan kepada temannya karena temannya itu adalah orang yang sama yang meminjami Khusni uang. Tapi apa boleh buat hanya dia lah yang mau membantu Khusni. Sepuluh atau lima belas menit kemudian temannya datang. Khusni berusaha memberikan senyum dan keceriaan kepada temannya karena dia tak ingin menjadi benalu yang tak bisa membuat orang lain senang, walaupun hanya dengan senyuman. Seberapa besar gejolak kehidupan yang dialami Khusni, dia selalu berusaha untuk tidak menunjukkan itu kepada orang lain. Kusni berhutang lagi pada temannya untuk membeli bensin yang menguap dari tanky motornya. Biarpun Khusni sering merepotkan orang lain, berhutang sana sini untuk mencukupi keperluannya, semua barang-barangnya serba meminjam, tetapi Khusni tidak pernah berkecil hati. Khusni yakin suatu saat dia akan bisa menyenangkan orang lain karena dia yakin roda kehidupan akan berputar. Semangat Khusni akan terus membara untuk membuat orang tuanya bangga.


jambrunk
29 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar