Rabu, 05 Juni 2013

Jangan Panggil Aku, Kelinci.


 
Diam-diam aku kelinci.
Bagaimana bisa? Namaku bukan Kelinci.

Aku tak gemar sayur wortel dan aku pakai kacamata.
Aku tidak juga tinggal di gang Kelinci, seperti yang ada dicerita.
Gigiku rata, tak panjang telinga, lantas bagaimana bisa?

Bukan karena aku lucu, lalu kau panggil aku kelinci;
Bukan karena aku pemalu, lalu kau paksa aku jadi kelinci.
Benar memang, aku tak suka sate kelinci, namun tak berarti aku tak mau makan bangsa sendiri.
Nyata memang, Aku tak makan rumput, karena aku makan nasi.

Rumput tetangga maksutnya?
Ah, kau ini ada-ada saja.

Atas nama Tuhan yang maha Pengasih Lagi pula Penyayang




Kepada
Yang termuliakan
Pencipta jagad raya
Lagi isinya.

Tuhanku, maha pemberi segalanya, yang lebih menyayangi insan terkutuk di muka bumi ini, yang berada dalam ketiadaan. Murkai Aku, pemuji yang kotor, yang jauh dari rasa kecukupan atas cumbu mesraMu, yang berpikir bangsat dalam ketegaran.
Demi langit dan bumi, akan Aku tuliskan pada selembar putih, persekutuan picik antara Kau dan Aku. Bukti sejarah cipta dan rasa, antara tangis dan tawa, tak terkecuali kejujuran dan kemunafikan. Semoga Kau yang maha tidak, tidur dan tuli, yang selalu melihat tanpa menggunjing di sana sini.

Fenomena Entahlah

Fenomena entahlah. Kalo terus begini, manusia kenyang makan teknologi. Tak perlu nasi, lauk, dan sayur dan penjual makanan perlahan miskin permanen. Kenapa tidak? Orang makan lauk BBM, sayur Watap, minuman cap FB dan twitter. Sejogjanya, tangan kanan memegang sendok dan tangan kiri pegang krupuk. Tapi, apa jadinya bila krupuk bermerk Samsung?
"Mbak, minumnya apa?"
..Senyum..
"Mbak, permisi mau ambil sambel."
..Senyum..
"Habisnya, 2,5 juta mbak!"
"Apa?"
"Lauknya tadi kan pake Samsung!"

Sabuk Kiai

Masih seputar sang Kiai, jadi teringat pada guru Bahasa Indonesia saya dulu waktu SMA, Dandang A Dahlan. Penulis novel Menyemai Cinta dan Sabuk Kiai yang memenangkan Sayembara Novel Islami Depag tahun 2004 ini, memang benar-benar pantas untuk diteladani. Malam ini, diantara koleksi Selilit Sang Kiai (Cak Nun) dan Kiai Nyentrik Abdurahman Wahid (Sobary), saya lebih ingin mengenang-ngenang penulis Sabuk Kiai. Maha Guru yang kami duga mewarisi ilmu Laduni itu, memang tiada banding. Datang mengajar, masuk kelas tanpa membaca buku apapun dan yang menjadi kekhasan beliau adalah sebatang rokok Bentol Biru yang selalu melekat ditangan kanan dan bahkan mengajarpun Beliau merokok. Bukan tentang seputar ketatabahasaan indonesia yang ditanyakan beliau saat mengajar, namun pertanyaan yang selalu membuat kita berdebar sekaligus beriang tawa.

Antara Sang pencerah dan Sang Kiai

Menurut cerita Cak Nun, ketika Gus Dur ditanya tentang perbedaan Mohammadyah dan NU, Beliau berkata begini: Sebetulnya gak ada bedanya, kalau di Mohammadyah itu ada Aminn Rois kalau di NU ada Rois Am. Kalau Muhammadyah itu sholat subuhnya 7 rakaat, nah baru bisa dikatakan perbeda.

Saya juga teringat penggalan lirik Syi'ran Gus Dur sekalipun ada sumber yang menuliskan bahwa itu bukan karya beliau "sering ngafirke marang Kiai, yen iseh kotor ati akale".

-(Fenomena entahlah) -
Jika Film Sang Pencerah (2010) garapan Hanung Bramantio yang mengangangkat cerita kolosal sosok tokoh KH. Ahmad Dahlan dengan latar sosial Mohammadyah, lalu kenapa seolah-olah warga NU tak mau tertinggal dengan merilis Film Sang Kiai (2013) yang mengangkat sosok KH. Hasyim Asyari?
Adapun adanya pertimbangan-pertimbangan yang lain, tapi saya tetap menganggap adanya persaingan, ketidak harmonisan, dan bahkan perselisihan diantara kedua belah pihak.
Dan jika saya boleh menduga, nanti akan rilis juga Film yang berjudul Senggama Para Kiai, sebagai jalur tengah yang mengangkat fenomena Kiai jaman sekarang dan sebagai kritik fenomena kiai partai politik. Mungkin, Ram Punjambi lebih cocok kelihatannya jika diberi tugas untuk hal itu karena lebih sering membuat Film Pocong KFC (dada&paha). Hehe