KUMIS
( Guy De Maupassant)
Lucie
sayang, tak ada berita baru. Kegiatan kami hanyalah duduk-duduk diruang tamu
sambil memandang hujan turun. Dalam cuaca yang sangat buruk ini, kami tidak
bisa keluar sama sekali, karena itu kami main komedi. Ya ampun, sahabatku
sayang, ternyata koleksi naskah yang ada sekarang untuk dipertunjukkan diruang
tamu itu konyol-konyol semuanya. Semua serba dipaksakan, serba kasar dan berat.
Leluconnya seperti peluru meriam yang ditembakkan, mengacaukan semua. Tak
berjiwa, tidak alami, tidak segar, tidak anggun sama sekali. Keterlaluan sekali
para pengarang itu, mereka tidak tahu apa-apa tentang dunia. Mereka sama sekali
tidak tahu bagaimana orang dikalangan kita berpikir dan bagaimana mereka
berbicara. Boleh saja mereka memperolok-olokkan kebiasaan kita, tetapi paling
tidak mereka harus memahaminya. Agar lebih menarik mereka bermain kata-kata,
yang mungkin lucu untuk menggelitik tawa tangis serdadu. Agar lebih gembira,
mereka membuat lelucon yang diambil dari jalanan, dari bar-bar para seniman.
Sejak lima puluh tahun mereka mengulang-ulang lelucon mahasiswa yang itu-itu
juga.
Pendek
kata kami bermain komedi. Karena di rumah kami hanya ada dua orang perempuan,
suamiku mengisi peran sebagai pelayan, dan untuk itu kumisnya harus dicukur.
Lucie sayang, tidak dapat kamu bayangkan, betapa hal itu membuatnya berubah!
Aku tidak mengenalnya lagi.... baik siang maupun malam. Jika ia tidak
membiarkan kumisnya segera tumbuh kembali, bisa-bisa nantinya aku akan
berselingkuh karena begitu tidak suka melihat tampangnya seperti itu.
Sungguh
lho, laki-laki tanpa kumis bukanlah laki-laki. Aku tidak begitu suka janggut,
soalnya janggut hampir selalu memberi kesan wajah yang tidak acuh, tetapi
kumis, oh, kumis! Sangat diperlukan oleh wajah yang jantan. Tidak, kamu tidak
mungkin membayangkan betapa sikat berbulu di atas bibir itu berguna untuk mata
dan ... untuk... hubungan suami istri. Dalam hal ini banyak hal yang muncul dalam
kepalaku tetapi aku tidak berani menuliskan disini untukmu. Mau saja aku mengatakannya
nanti kepadamu ... tetapi dengan berbisik. Sulit sekali menemukan kata-kata
untuk menerangkan hal tertentu. Beberapa diantara kata-kata itu, yang tidak
mungkin digantikan, jika ditulis di atas kertas kesannya begitu jelek, sehingga
aku tidak dapat menuliskannya. Tambahan lagi, soalnya begitu sulit, begitu
peka, begitu tidak pantas sehingga diperlukan pengetahuan luas untuk dapat
membahasnya tanpa bahaya.
Begitulah!
Apa boleh buat jika kamu tidak mengerti. Yang penting, sahabatku sayang,
berusahalah sedikit untuk memahami apa yang tersirat.
Nah,
ketika suamiku menghampiriku setelah bercukur, yang pertama kusadari adalah
bahwa aku tidak pernah tergoda oleh seorang aktor murhan, tidak juga oleh
seorang juru khotbah, bahkan oleh oleh pastor Didon, yang paling tampan dari semuanya!
Tahu, ketika tidak beberapa lama kemudian aku berdua saja bersamanya (bersama
suamiku), lebih celaka lagi. Aduh, Lucie sayang, jangan pernah membiarkan
dirimu dicium oleh pria tak berkumis, ciumannya benar-benar hambar, hambar,
hambar! Ciumannya tidak lagi mengandung daya tarik, keempukan dan ... smacam
merica ... ya, semacam merica dari ciuman yang sebenarnya. Kumis adalah
cabainya.
Bayangkan
jika pada bibirmu ditempelkan kertas kulit yang kering ... atau lembab. Itulah
sentuhan bibir pria yang tak berkumis! Tentunya tak lagi mengasyikkan.
Jadi
dari mana asalnya daya tarik kumis, tanyamu? Memangnya aku tahu? Mula-mula,
kumis menggelitik dengan cara yang menyenangkan. Orang merasakannya sebelum
sampai ke mulut. Kumis menimbulkan getaran yang membahagiakan di seluruh tubuh
sampai ke ujung kaki. Kumislah yang membelai, yang menggetarkan, yang
merangsang kulit, dan yang menjadikan syaraf bergetar nikmat dan mendorong
orang mendesah perlahan “oh” seolah-olah sedang sangat kedinginan.
Dan
sentuhan di leher! Ya, tidak pernahkah kamu merasakan kumis menyentuh lehermu?
Sentuhan itu mmbuatmu mabuk dan tegang, getarannya terasa turun dari punggung
sampai ke ujung jari. Badan menggeliat, bahu bergetar, kepala terkulai
kebelakang. Kita ingin melarikan diri dan sekaligus tetap tinggal. Ciuman itu
menyenangkan dan sekaligus menimbulkan rasa sakit! Tetapi betapa nikmat
rasanya!
Dan
lagi ... benar lho, aku hampir tidak berani meneruskan! Seorang suami yang
benar-benar mencintaimu, yang benar-benar lho, bisa menemukan banyak sekali
sudut-sudut kecil untuk menyembunyikan kecupan, sudut-sudut yang kita sendiri
tidak menyadarinya. Nah, tanpa kumis, ciuman-ciuman itu menjadi hambar, belum
lagi ditambah kesan yang tidak layak yang ditimbulkannya! Kamu boleh
membahasnya semaumu! Sedangkan bagiku, inilah alasan yang kutemukan: bibir
tanpa kumis itu telanjang seperti badan tanpa baju; dan badan harus selalu
berpakaian, walaupun sangat minim, terserahlah, tetapi harus berpakaian!
Sang
pencipta (aku sama sekali tidak berani
menulis kata lain untuk membicarakan hal ini), sang pencipta dengan cara itu
telah sengaja melindungi bagian-bagian tubuh kita, tempat cinta tersembunyi.
Mulut yang baru dicukur bagiku kelihatan seperti kayu yang ditebang di
sekeliling air mancur tempat orang minum dan tidur.
Tidak
ada cinta sama sekali tanpa kumis!
Dari
sudut pandang yang lain, kumis penting sekali. Ia menentukan raut muka. Kumis
dapat membuat wajahmu manis, lembut, garang, menakutkan, tukang foya-foya,
berani! Lelaki berjanggut,ia yang membiarkan bulu tumbuh di pipinya, wajah
tidak pernah berpenampilan lembut karena garis-garis wajahnya tersembunyi.
Bentuk rahang dan dagu menunjukkan banyak hal bagi yang dapat melihatnya.
Lelaki
berkumis menunjukkan kepribadian dan sekaligus juga kelembutan.
Betapa
banyak aspek yang dimiliki kumis-kumis ini! Terkadang melengkung, ikal, dan
genit. Yang begitu tampaknya sangat menyukai perempuan lebih dari apa pun!
Kadang kumis itu runcing, tajam seperti jarum, dan menantang. Yang begitu lebih
menyukai anggur, kuda dan peperangan. Kadang kumis itu sangat tebal, menurun,
dan sangat menakutkan. Yang berkumis tebal seperti itu umunya menyembunyikan
karakternya yang baik sekali, kebaikan yang cenderung merupakan kelemahan dan
kelembutan yang menutupi rasa malu.
Kumis
itu membuat bangga, galak, dan berani. Kumis dapat menjadi basah oleh minuman
namun tetap bagus dan dengan kumis orang bisa tetap tertawa dengan anggunnya,
sedangkan rahang yang berjenggot tebal memberi kesan berat, apapun yang dilakukannya.
Aku
salah telah menceritakan ini padamu. Jadinya aku sedih sekarang dan tidak dapat
mengobrol lebih lama lagi. Baiklah, Lucie, sampai bertemu lagi. Salam hangatku
untukmu. Hidup kumis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar