Diam-diam aku kelinci.
Bagaimana bisa? Namaku bukan Kelinci.
Aku tak gemar sayur wortel dan aku pakai kacamata.
Aku tidak juga tinggal di gang Kelinci, seperti yang ada
dicerita.
Gigiku rata, tak panjang telinga, lantas bagaimana bisa?
Bukan karena aku lucu, lalu kau panggil aku kelinci;
Bukan karena aku pemalu, lalu kau paksa aku jadi kelinci.
Benar memang, aku tak suka sate kelinci, namun tak berarti
aku tak mau makan bangsa sendiri.
Nyata memang, Aku tak makan rumput, karena aku makan nasi.
Rumput tetangga maksutnya?
Ah, kau ini ada-ada saja.
Begini saja lah!
Aku memang
penikmat Pustun, kau mengerti Pustun?
pustun-putun bukan sejenis kambing, bukan pula anjing
pustun-pustun bukan semacam serabi, lain juga bolu Bali.
Kemari aku bisiki…
Pustun itu buronan
kelinci! Mengerti?
Tapi, aku tetap bukan kelinci, tidak sama sekali.
Tapi, aku dan kelinci sama-sama gemar menggauli.
Tapi, aku lebih lincah dari kelinci, jauh!
Tapi, pustun-pustun lebih gesit dari kami, sungguh.
Aku tak mengerti, dari golongan apa dia.
Selalu berubah-ubah, rumit berliku, oh pustunku!
“pustun makannya duit
lho…. Golongan darahnya rupiah, ringgit, dolar lho….”
“Hahahahahaha ada-ada
saja!”
“pustun itu licin kaya
belut lho… Anggun kaya kucing lho.. suci kaya peri lho…”
“hahahahahaha lantas
bagaimana?”
“uhuk uhuk pustun
minta nyalon, ohok ohok pustun minta kelon.”
“hahahahahaha jangan
buat aku gila!”
Jadi,
Diam diam kelinci, ingin-inginkan pustun
Diam diam aku, ingin-inginkan kelinci
Jangan panggil aku kelinci!
Supaya pustun-pustun tak akan lari.
Diam-diam dalam birahi.
Romansah, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar