Rabu, 05 Juni 2013

Jangan Panggil Aku, Kelinci.


 
Diam-diam aku kelinci.
Bagaimana bisa? Namaku bukan Kelinci.

Aku tak gemar sayur wortel dan aku pakai kacamata.
Aku tidak juga tinggal di gang Kelinci, seperti yang ada dicerita.
Gigiku rata, tak panjang telinga, lantas bagaimana bisa?

Bukan karena aku lucu, lalu kau panggil aku kelinci;
Bukan karena aku pemalu, lalu kau paksa aku jadi kelinci.
Benar memang, aku tak suka sate kelinci, namun tak berarti aku tak mau makan bangsa sendiri.
Nyata memang, Aku tak makan rumput, karena aku makan nasi.

Rumput tetangga maksutnya?
Ah, kau ini ada-ada saja.


Begini saja lah!
Aku memang penikmat Pustun, kau mengerti Pustun?
pustun-putun bukan sejenis kambing, bukan pula anjing
pustun-pustun bukan semacam serabi, lain juga bolu Bali.
Kemari aku bisiki…
Pustun itu  buronan kelinci! Mengerti?

Tapi, aku tetap bukan kelinci, tidak sama sekali.
Tapi, aku dan kelinci sama-sama gemar menggauli.
Tapi, aku lebih lincah dari kelinci, jauh!
Tapi, pustun-pustun lebih gesit dari kami, sungguh.

Aku tak mengerti, dari golongan apa dia.
Selalu berubah-ubah, rumit berliku, oh pustunku!

“pustun makannya duit lho…. Golongan darahnya rupiah, ringgit, dolar lho….”
“Hahahahahaha ada-ada saja!”
“pustun itu licin kaya belut lho… Anggun kaya kucing lho.. suci kaya peri lho…”
“hahahahahaha lantas bagaimana?”
“uhuk uhuk pustun minta nyalon, ohok ohok pustun minta kelon.”
“hahahahahaha jangan buat aku gila!”

Jadi,
Diam diam kelinci, ingin-inginkan pustun
Diam diam aku, ingin-inginkan kelinci
Jangan panggil aku kelinci!
Supaya pustun-pustun tak akan lari.
Diam-diam dalam birahi.



Romansah, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar