"Sayang,
tak inginkah kau buatkan aku secangkir kopi dan sepotong roti di meja?"
"Suamiku
terkasih, lepas subuh tadi telah kusiapkan sambal goreng kentang
kesukaanmu."
"Sayang,
tak seperti biasanya kau memasak pagi-pagi untukku, ada apa?"
"Tuhan
memberi kabar baik untuk kita, aku diangkat menjadi Asisten Manager, sayang. Selama
3 hari kedepan Beliau memintaku menemaninya untuk General Meeting di Lion."
"Kau
tak pulang nantinya? Kau akan menginap dimana?"
"Suamiku, tenanglah! Aku bisa jaga diri
baik-baik."
"Istriku, kau tahu siapa Managermu itu? Ia adalah
sahabatku dulu waktu aku duduk dibangku SMA."
"Kenapa kau tak bilang dari dulu sayang, kenapa?
Tahu begitu aku tak perlu susah-susah untuk membangun karirku."
"Tidak apa-apa!" Ujar Iwan kepada istrinya sambil
menatap jendela apartemen yang dihujani salju.
***********
Aku adalah sebilah Keris, iya, sebilah Keris pusaka
raja-raja Jawa. Aku ditempa dari alam dengan sebongkah baja dan batu meteor. Aku
dibentuk dengan cipta karya tinggi, dibakar dengan nyala api membara, digilas
berulang-ulang, diawali dan diakhiri dengan prosesi keagamaan. Namun aku bukan
hasil karya para empu dari kaum brahmana kerajaan Majapahit sampai Mataram
Islam, tidak sama sekali. Aku terlahir dan terdidik dari golongan sudra atau
kaum rendahan. Kaum yang tak mengerti baca dan tulis apalagi untuk mengejakan
norma dan nilai-nilai kehidupan untukku.
Namun, aku tetap lah sebuah Keris dan aku pantaskan
diriku untuk hal itu. Sebuah pamor bagiku didapat dari sebuah proses yang
panjang, dari kerasnya benturan palu-palu kehidupan, yang dengan sendirinya
aura atau ruh dalam diriku beranjak sempurna.
Pepatah petitih yang mulai termakan jaman. Buah jatuh
tidak jauh dari tempatnya sudah terlampau usang dan bahkan cenderung melemahkan
langkah-langkah kaki. Apalagi, Bibit Bebet Bobot, terdengar seperti semboyan
kuno yang sangat mengusik telinga. Aku terlahir untuk mempunyai hak yang sama,
semangat hidup yang sama, impian yang sama dengan yang lainnya dan bahkan tidak
pantas untuk dinilai sebagai sebuah kualitas. Budaya Jawa memang hasil cipta
karsa dan karya yang terpelihara dari para leluhur. Sekalipun begitu, aku terkadang
harus membebalkan diri dari nilai-nilai yang kuanggap menghambat derai
langkahku.
Aku adalah anak pesisir, yang hidup di sebuah desa
kawasan pantai utara. Di tempat yang gersang ini aku dilahirkan dari nelangsa
pribumi yang berkasta dasar. Orang tuaku ditakdir menjadi budak-budak bangsawan
atau para tuan tanah yang tak berperikemanusiaan. Seorang buruh tani yang
semakin merana dalam kengerian, dapur yang tak mampu mengepul, ranjang yang tak
berkasur dan tertindas demi segenggam beras.
Oh, malam yang sunyi, kenapa Kau ciptakan insan untuk
tidak berkesempatan mengeja, bebal, dan terbelenggu dalam kesengsaraan.
Meskipun hidup miskin, kami terlanjur taat. Bukan lagi
takdir yang berbicara namun kesediaan menjaga untuk selalu bersandar kepada
Sang Maha, itu lah yang aku anggap sebagai bongkahan emas yang tak ternilai
sebagai warisan dari keluarga.
“Nak, meskipun aku dan Ibumu tak bisa baca tulis, tapi
orang tuamu menginginkan anaknya berpendidikan tinggi, berakhlak dan berilmu seperti
mereka-mereka yang mampu.” Ujar Bapak setelah menyelesaikan
wirid bakda Maghrib.
“Tapi
uang dari mana Pak? Untuk makan saja kurang.” Sanggahku kepada Bapak.
“Sudah
Ngger, untuk masalah biaya biar Ibu dan Bapak yang pikirkan. Kamu sekolah saja
yang benar, belajar yang rajin biar pintar. Nanti jika ditanya Tuhan, kita mau
jawab apa kalau kamu tidak sekolah?” Tutur Ibu sambil memelukku, lirih.
“Ampun
Ibu, beribu ampun, bukannya aku ngeyel kepada orang tua, tapi tadi sore selepas
Ashar dan Bapak Ibu masih di sawah, pak Sungkono datang menagih hutang.”
Tuturku kepada Ibu dan sontak kami menangis dan berpeluk kasih.
Matahari
harus terbit dan rembulan musti redam. Senja dan fajar silih berganti,
hari-hari berlalu dengan sekenario alam yang begitu indah. Madrasah Ibtidaiyah yang setara dengan sekolah dasar ijazahnya
telah berada dalam genggaman. Aku memang tak mengecam bangku taman kanak-kanak.
Bukan karena aku tak mau merasakan riangnya bernyanyi lagu kebangsaan dengan
segelas susu dan roti ditangan, namun memang belum dibangun gedung TK di
desaku. Maklum desaku memang terpencil, 8 km dari kecamatan dan 25 km dari riuh
ramai kota.
Roda
terus melaju, berputar pada porosnya dan sedikit dencitan bising pada pedal
kakinya. Suaranya seperti tikus yang terinjak ban mobil ketika pedal kekurangan
pelumas, oli bekas. Asas kreatif dan keterbatasan biaya lantas tak menumpulkan
akalku untuk menjadikan sandal bekas sebagai pengendali laju roda depan, sepeda
perjuangan. Begitulah caraku unuk menyiangi jarak dan berpacu dengan laju waktu
dari rumah ke sekolah.
Sekolah
Menengah Pertama yang dinaungi oleh pemerintah menjadi pijakan selanjutnya. Kebanggaan
yang sepantasnya karena puluhan teman-temanku menginginkan belajar di sekolah
itu. Meskipun bangungannya telah usang, tembok yang mengelupas, dan pagar-pagar
yang menua oleh terik matahari dan hujan, aku tetap nyaman mencumbu buku-buku pelajaran.
Para guru datang silih berganti memberikan wejangan beberapa ilmu, dari ilmu
sosial, ilmu alam, ilmu hitung, budaya, dan bahasa. Seperti laba-laba yang
sibuk menyusun jaring pada atap kelas, aku pun terus membangun mental, wawasan,
dan impian.
Tahun
demi tahun terlampaui. Pendidikan
formal di esok hari, mencari rumput untuk satu ekor sapi di sore hari, dan
menyela waktu untuk bermain-main sebelum petang. Layaknya anak desa pinggiran
yang mencari ikan dimusim hujan dengan bermandi dikali dan berbilas lumpur. Ini
lah masa kecilku, tak mengenal sahabat, teman dekat, pacar, dan segala urusan
orang remaja atau dewasa. Ini lah masa kecilku, tak mengerti teknologi,
televisi, komputer, telepon genggam, dan segala kemajuan transportasi. Sejauh
aku berlari keluar mengejar pesawat terbang yang sesekali melintas di atas
rumah, sejauh itu pula aku menggantungkan angan sebagai tugas dan tanggungjawab
kepada orangtuaku.
Kini aku telah di jenjang atas, sekolah menengah tingkat
atas. Keharusan untuk meningkatkan pola pikir, menyesuaikan lingkungan yang
baru untuk menapaki masa-masa baru, kata orang. Aku tak begitu memperdulikan
itu. Program wajib belajar sembilan tahun dari pemerintah mengharuskanku untuk
tetap bertahan. Setidaknya, bagaimana aku mampu bersaing dengan orang-orang
kota, membacai buku-buku mereka karena aku datang bukan dari kota. Iya, aku
telah sadar diri. Orangtuaku hanya seorang buruh tani dan aku dibiayai hanya
dengan hasil memburuh seharian penuh. Namun aku tak gentar
dan tak pernah gentar. Kesediaan bersandar kepada Yang Maha, itu lah
satu-satunya modal dari orang tua. Kupelajari segala macam ilmu, budaya, dan
bahasa. Dan sampai tiba dimana Tuhan Yang Maha membolak-balikkan dunia,
menunjukkan welas asihNya.
Ini
lah masa, dimana Tuhan sudah tak mampu membendung rinduNya kepada Bapakku,
kerinduan yang tak terperi dengan mengambil Bapak dari kami. Sejauh
mengenang-kenang namanya, sejauh merapal doa untuknya dan aku limbung
sejadi-jadinya. Kami adalah miskin, sampai mengabadikan parasnya pun kami tak
mampu. Kami adalah miskin, sampai mengundang Kiai ditujuh hari kematiannya kami
pun tak mampu. Oh Tuhanku, kasih sayangMu sungguh berbagai-bagai.
Tujuh
hari sudah aku tak bersekolah. Tujuh hari telah aku larut dalam kebimbangan,
kesedihan, bermuram durja musnah seluruh harapan. Perjalananku masih ditengah
jalan, aku masih duduk dikelas dua, antara berhenti atau terus berjalan. Dan
setelah itu lah aku diperkenalkan dengan persahabatan.
Diantara
teman-teman sekolahku, Fajar dan Mey yang teguh mencari-cari kabar dan
keberadaanku. Sepulang sekolah mereka berkenan hati melawat kerumahku yang
jelek. Dibawakannya aku berbagai macam bingkisan makanan dan buah-buahan,
sekadar untuk menyenangkan hati dan pikiranku. Acap kali mereka bergumam dengan
Ibuku di dapur, membantu berberes rumah dan membantu mengurus ternak. Ibu
bilang kalau mereka senang berteman denganku. Memang tidak dipungkiri bahwa aku
sering membantu jika mereka kesulitan dalam pelajaran.
Perlahan badai pun berlalu. Aku mulai menapaki
langkah-langkah yang sempat terhenti. Yang telah terjadi adalah takdir Tuhan,
kubingkai dalam sejarah-sejarah hidupku. Seperti lekuk-lekuk Keris, itu lah
kehidupan. Kembali berjuang untuk masa depan. Ini lah arti pertemanan, setiap
menanam pasti akan menuai, dan dengan mereka aku mengerti indahnya berbagi.
Masa
remaja yang indah telah kita lalui bersama. Kesediaan mengerti, bercanda,
berbagi tangis dan tawa. Itu lah kita, pengisi masa muda yang congkak, yang
menggantungkan mimpi diantara gengam-genggam tangan kita.
Sampai
pada saat kita dihadapkan pada ujian akhir sekolah. Ibarat mendaki puncak
gunung Merapi, kita telah sampai pada tebing terakhir, mengumpulkan sagala daya
dari sisa-sisa perjuangan. Perjalanan yang panjang dan penuh rintangan, sudah
barang tentu tak ingin menyia-nyiakan waktu begitu saja.
Siang
malam kita berkumpul untuk belajar, saling melengkapi kekurangan masing-masing
dalam pemahaman materi pelajaran. Sesekali sebagai pelipur rasa jenuh, kita
saling bertukar cerita tentang sosok belahan jiwa. Saling membayangkan sosok
pasangan yang ideal. Tak jarang juga membicarakan tentang tingkah laku
teman-teman lain yang menurut kita lucu dan aneh.
Waktu
bertempur telah tiba. Entah ini yang dinamakan peraduan nasib atau pembuktian
kualitas selama belajar tiga tahun. Selama tiga hari Ujian Akhir Sekolah akan
diselenggarakan. Tiga mata pelajaran umum dan tiga mata pelajaran penjurusan. Dan kita pun bertiga! Persahabatan yang mempunyai mimpi
setinggi langit.
Pagi itu memang benar berbeda, pertemuan kita tak seperti
biasanya. Adit terlihat gugup sekali dengan muka merah padam dan Mey berubah
menjadi agak pendiam. Mungkin mereka terlalu khawatir dengan ketidaksiapan
mental untuk mengahadapi ujian yang begitu menentukan ini. Tak terkecuali
denganku, sekalipun belajar semalam penuh tetap saja jantungku berdegup
kencang. Aku hanya bisa merapalkan doa untuk kelancaran kita bersama.
Selama liburan panjang akhir sekolah, kita sudah tak
pernah ketemu. Hanya beberapa kabar saja yang aku ketahui setelah pertemuan di
hari terakhir ujian. Adit pergi ke Jakarta untuk menemui neneknya sembari
mengurus segala keperluan untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Mey memutuskan
untuk mengisi liburannya dengan mempelajari soal-soal latihan SNMPTN karena ia
ingin meneruskan kuliah di perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah.
Dan ketika
pengumuman sekolah, aku mengetahui bahwa kita bertiga lulus dengan nilai yang
baik. Diantara
tangis dan tawa bahagia, aku tak melihat kedatangan Adit dan hanya Mey yang
berlari memberikan ucapan selamat untukku. Dan setelah itu teman-teman yang
lain silih berganti memberikan ucapan selamat.
“Selamat
untukmu Wan, atas keberhasilanmu menjadi lulusan terbaik.” Ujar Arif kepadaku.
“Selamat juga, Rif.” Kataku.
“Oh iya, ini ada titipan surat dari Adit, untukmu.” Sahut
Arif kepadaku.
Aku sontak terkejut menerima surat itu. Terbungkus rapi
dengan amplop berwana coklat dan seketika itu pula kubuka dan kubaca:
Untukmu, Iwan.
Sahabatku, terkasih.
Maafkan
aku kawan, aku adalah pengecut yang tak berani berterus terang dihadapanmu. Semua
kulakukan demi menjaga hati dan perasaan kita berdua. Sejujurnya, aku telah
menemukan catatan kecil dalam buku sakumu, semester lalu. Kau memendam rasa
kepada Mey, bukan? Begitu juga aku. Aku akui memang aku terlampau picik. Di
malam sebelum Ujian Akhir Sekolah kemarin, aku mengutarakan perasaanku kepada
Mey karena aku tak ingin kau memilikinya! Aku tak ingin kehilangan Mey karena
aku menyukainya sebelum kita berdua dekat denganmu.
Namun,
aku akui memang. Aku tak pernah menang dengan kau. Aku tak pernah unggul dari
kau, Iwan. Kau
memang pintar segalanya dariku! Dan bahkan pintar mendapatkan hatinya Mey.
Sekali lagi maafkan aku kawan. Aku
sungguh pengecut. Semoga kau bahagia dengannya dan suatu saat aku pasti lebih
unggul dari kau. Salam.
Sahabatmu, Adit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar