Senin, 12 Mei 2014

Doa, Buku, dan Hati

Ini adalah tanda. Dimana manusia itu gemar mengolak-alik buku-buku fiktif. Buku-buku yang abjad-abjadnya tersusun dari dusta. Setelahnya dipergunakan untuk mengutuk orang, dipergunakan untuk mengutuk. Lalu, bagaimana pula jadinya jika aku mengikutimu, buku? Atau akal yang merupakan garis depan berhala modern dan hati yang merupakan cahaya yang bercampur debu. Ah bukan seperti itu, hati bukan kayak gitu, hati yang sebegitu itu. Adalah hati yang ngilu, yang berkerja dengan kipas-kipas keresahan dan jauh dari kemantapan.

Dengan buku-buku kalian memang mendapatkan sesuatu. Dengan buku-buku memang menjanjikan pembaharuan pemikiran, cara pandang, dan pembentukan karakter. Sebegitu pula tanpa mengejwantantahkan siapakah pembuat buku itu, buku adalah sumber dari segala ilmu. Dan bagiku, yang sebegitu itu, palsu. Aku hidup diantara kemunafikan tingkat tinggi. Dibalut dengan doa-doa indah seperti pelangi yang mungkin ada tanpa adanya hujan. Kau ragu? Begini adanya:


Suatu hari, aku menemu pelangi. Tanpa aku meminta hujan yang sedemikian lebat yang sampai hati membuat orang-orang disekelilingku resah. Aku menemukan Pelangi diatas lembaran kertas yang putih, dengan goresan warna-warna semau gerak jari. Lalu aku bertanya, apakah kita harus menunggu hujan yang mendera pelupuk dahulu lalu kita bisa menemu pelangi? Dan ketegasan untuk menjawab "tidak" adalah hal yang paling mudah untuk diragukan kebenarannya.

Seperti apa yang diajarkan buku. Berhala modern itu tak mampu untuk menipuku dengan bayangan-bayangan samar. Yang menjanjikan untuk mempimpin diri adalah aku sendiri. Seleraku tak terbatasi dengan benda pasih yang mengkerdilkan megahnya kerajaan kepala dan hati. Ayat-ayat yang tertulis bukan berarti ayat yang kebenarannya sempurna. Aku menemu ayat-ayat yang tidak mampu untuk diintrepretasikan oleh buku.

Namun, benteng terakhir yang masih bisa kita andalkan adalah hati. Ketika otak tak mampu untuk menerjamahkan apa yang kita serap dari buku, maka hati adalah pilihan terakhir yang mampu berbicara. Bagiku, hati adalah dinding antara kebenaran dan kemunafikan tingkat tinggi. Yang tidak dapat dirasakan dengan panca indra, itu lah yang samar dan perlu dikaji ulang. Oh kemalangan jiwa, begitu rahasiakah duni ini untuk kita? Oh, bukan kita, bukan. Duniaku sendiri dengan kedalam jiwaku sendiri, yang palsu dan penuh kemunafikan.

Aku berdoa dengan yang goib, yang tak tertuliskan oleh siapapun. Yang tak teruraikan dalam buku fiksi atau non fiksi. Aku bersumpah, aku tak ingin menjadi penulis ataupun sastrawan. Aku ingin menjadi pengemis dalam rangkaian kata, aku ingin menjadi budak kata-kata indah yang ada dalam doa, buku, dan  hati. Aku ingin menjadi bodoh yang tak lagi dibodohi oleh apapun. Aku ingin menjadi gila yang tak ditipu oleh kegilaan yang dibuat-buat. Aku ingin menjadi kepalsuan yang tak akan pernah menemu kebenaran. Aku ingin menjadi bebal yang kemudian pola berpikirku tak ditiru oleh orang lain dan tak dipergunakan untuk menggurui orang bebal berikutnya.

Jika aku hidup dari buku-buku, maka aku adalah snob dan juling. Jika aku besar dari doa-doa maka aku adalah harapan buram. Jika aku selalu mengandalkan hati sebagai senjata terakhir, maka setelahnya aku tak akan hidup. Karena kematian hati adalah endapan yang bersekala lampau yang mampu menyemburkan api yang dingin. Persetan dengan pandangan-pandangan palsu. Buku adalah berhala modern, doa adalah ketidak pastian harapan, dan hati adalah aku yang bebal, sungguh!


12/05/14

Romansah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar