Sabtu, 23 November 2013

Keputusan Bersuara Atas Nama Tuhan!


Keputusan-keputusan bersuara "Atas Nama Tuhan". Sangat menggelitik hati dan pikiran jika kita sudah mulai mendengar dan melihat di media televisi dalam mengambil sebuah keputusan atau memutuskan sesuatu dengan bertameng "Atas Nama Tuhan". Belum lepas dalam ingatan kita bagaimana masyarakat indonesia digemparkan dengan modus pengalihan issue masalah pemerintahan dengan sensasi "Demi Tuhan!". Masih ingatkah anda? Ketika tidak ada angin ribut, tidak ada puting beliung, dan tsunami sekalipun, tiba-tiba muncul di layar televisi anda dengan geger artis perihal penipuan praktek perdukunan. Untuk menjudge seseorang dengan menggunakan kalimat yang diambil dari unsur keagamaan atau ideologi ketuhanan tertentu sudah menjadi trend ampuh dalam menjatuhkan orang lain, pihak lain atau instansi-instansi sosial kemasyarakatan.


Bagian dari fenomena yang memang sudah sengaja digiring menuju pada suatu titik.  Titik dimana manusia mentahayulkan fakata-fakata atau bukti-bukti yang nyata-nyata dapat dirasakan oleh panca indara. Dalam kasus perselisihan artis kawakan Adi Bing Selamet dan Arya wiguna dengan paranormal Eyang Subur, misalnya. Sangat jelas tercermin bahwa masyarakat Indonesia sangat antusias sekali untuk mengikuti berita yang berhubungan dengan dunia mistik, tahayul, dan hal-hal yang berbau klenik. Bagi orang yang mampu berpikir secara rasional, setidaknya orang tersebut mampu memilah suatu berita atau wacana yang pantas untuk diangkat dipermukaan. Hal klenik kok diributkan! Kalo masalah kebatinan ya cukup untuk dibatin saja, disimpan rapi dalam hati dan tidak perlu untuk dibicarakan di muka umum. Sehingga masyarakat tidak terhegemoni dan ikut-ikutan keblinger dengan hal-hal goib dan kemudian dikultuskan kebenarannya dengan menggunakan "Atas nama Tuhan" atau "Demi Tuhan".

Nah, kalo sudah begini apa yang terjadi? Dosa terbesar media cetak dan elektronik adalah menjadikan masyarakat kita sedang mabuk "Atas nama Tuhan". Pada kenyataannya tak lama setelah good actingnya Arya Wiguna saat menggebrak meja menantang dukun Subur, di Kendal Jateng terjadi penyerangan oleh ormas keagamaan untuk memberantas kemungkaran di muka bumi, katanya. Mereka melakukan konvoi seperti pada musim kampanye parpol dan kemudian menjarah barang dagangan warga setempat dan mengobrak abrik tempat yang disinyalir dijadikan prostitusi "mogol". Mungkin mogol lebih tapat karena prostitusi itu kalau sedang diekspose ke media tidak diakui dan dilindungi pemda setempat. Tapi jika musim hujan seperti ini, lokalisasi tersebut penuh sesak berjejalan pejabat daerah dan upeti untuk keamanan wajib diberikan setiap harinya kepada "oknum kepolisian". Kembali pada ormas yang membakar toko-toko reyot dengan berteriak "Allahu Akbar"! Dikiranya kalo sudah bilang begitu maka apa yang dilakukannya mutlak benar? Sama saja jika disimpulkan, atas nama Tuhan kupecahkan miras ini, dan atas nama Tuhan "aku lho cuek" dengan anak pemilik warung besok bisa makan atau tidak. Oh, sungguh seperti puasa Ramadhan dan buka puasanya minum segelas Beer. Sungguh menggelikan..

Baru-baru ini ada lagi, lho! Pada pelantikan ketua Mahkama Konstitusi setelah Mahfud MD mengundurkan diri, Akhil Mukhtar berucap "Atas nama Tuhan, saya akan melakukan tugas dengan...bla..bla..". Mungkin pak Akhil tidak meniatkan diri untuk berucap seperti itu karena terpaksa sebagai prasyarat pelantikan sebagai ketua MK, makanya muncul di televisi sebagai tahanan KPK gegara kasus suap. Tapi lucunya dalam konferensi pers, pak Akhil bilang jika "demi Tuhan saya dijebak". Toh juga sekarang akhirnya dipenjara juga kan pak?

Kita hidup di jaman edan. Semua berbolak-balik tidak sesuai tatanan. Begini lah kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Manusia akhir jaman yang gemar untuk mengumbar kata-kata. Iya, tentunya kebebasan berbicara itu dijunjung tinggi dan diberikan tempat yang seluas-luasnya di depan hukum. Namun jika manusia sudah mulai mengumbar apa yang mereka katakan tanpa memikirkan apakah yang mereka katakan itu mempunyai kekuatan suci, seperti ruh yang semacam tabu untuk disalah arti dan gunakan, dunia akan habis.

Seperti musim kelarisan bagi seorang penjual burung. Dimana orang-orang, tua muda berbondong-bondong memburu segala macam jenis burung yang mempu berkicau indah dan otomatis akan bernilai jual tinggi. Kata Mas Abu penjual burung: "tahun ini jual beli burung sedang rame mas, yang awalnya harganya murah jadi mahal, padahal kicaunya biasa saja. Mungkin ada imbas dari burung-burung esklusif yang langka dan kicaunya khas (aneh) dibandrol dengan harga yang terlampau tinggi, yang tak masuk akal. Tapi apapun itu, kalau saya ya senang-senang aja, kan dapet untung. Hehehe ". Ini lah cerminan yang terjadi sekarang. Bukan salah Mas Abu yang selalu happy jika ada burung berkicau dan harganya tinggi. Hewan tidak bisa disalahkan karena dia tidak mampu mengartistikkan diri supaya bernilai mahal. Namun, jika yang begini itu manusia dan bukan burung, maka Mas Abu akan tetap makan nasi loyang setiap hari karena dia tak bisa jual manusia yang berkicau khas/aneh.

Fenomena laris manisnya jual beli burung merupakan sebuah pertanda bahwa manusia senang berbicara. Lebih dari itu, bahkan manusia suka bersuara lantang untuk berkicau janji palsu yang manis dan khas. Ada yang lebih ekstrim lagi, ketika manusia berkicau dengan menggunakan kalimat Tuhan untuk menipu orang lain bahkan membunuh orang lain. Mungkin akan dihargai dengan mahal yang seperti itu, tidak lagi dengan curse rupiah tapi sudah dollar.

Sungguh lucu, Tuhan tidak pernah kehilangan sakralNya, namun manusia sekarang menyakralkan diri dengan ayat-ayat Tuhan. Samar sudah, mana Tuhan mana manusia? Heuheuheu.. Salam menulis.



Disusun oleh: Eko Romansah
06:50, 16/11/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar