Keputusan-keputusan bersuara "Atas
Nama Tuhan". Sangat menggelitik hati dan pikiran jika kita sudah mulai
mendengar dan melihat di media televisi dalam mengambil sebuah keputusan atau
memutuskan sesuatu dengan bertameng "Atas Nama Tuhan". Belum lepas
dalam ingatan kita bagaimana masyarakat indonesia digemparkan dengan modus
pengalihan issue masalah pemerintahan dengan sensasi "Demi Tuhan!".
Masih ingatkah anda? Ketika tidak ada angin ribut, tidak ada puting beliung,
dan tsunami sekalipun, tiba-tiba muncul di layar televisi anda dengan geger
artis perihal penipuan praktek perdukunan. Untuk menjudge seseorang dengan
menggunakan kalimat yang diambil dari unsur keagamaan atau ideologi ketuhanan
tertentu sudah menjadi trend ampuh dalam menjatuhkan orang lain, pihak lain
atau instansi-instansi sosial kemasyarakatan.
Bagian dari fenomena yang
memang sudah sengaja digiring menuju pada suatu titik. Titik dimana manusia mentahayulkan
fakata-fakata atau bukti-bukti yang nyata-nyata dapat dirasakan oleh panca
indara. Dalam kasus perselisihan artis kawakan Adi Bing Selamet dan Arya wiguna
dengan paranormal Eyang Subur, misalnya. Sangat jelas tercermin bahwa
masyarakat Indonesia sangat antusias sekali untuk mengikuti berita yang
berhubungan dengan dunia mistik, tahayul, dan hal-hal yang berbau klenik. Bagi
orang yang mampu berpikir secara rasional, setidaknya orang tersebut mampu
memilah suatu berita atau wacana yang pantas untuk diangkat dipermukaan. Hal
klenik kok diributkan! Kalo masalah kebatinan ya cukup untuk dibatin saja,
disimpan rapi dalam hati dan tidak perlu untuk dibicarakan di muka umum.
Sehingga masyarakat tidak terhegemoni dan ikut-ikutan keblinger dengan hal-hal
goib dan kemudian dikultuskan kebenarannya dengan menggunakan "Atas nama
Tuhan" atau "Demi Tuhan".
Nah, kalo sudah begini apa
yang terjadi? Dosa terbesar media cetak dan elektronik adalah menjadikan
masyarakat kita sedang mabuk "Atas nama Tuhan". Pada kenyataannya tak
lama setelah good actingnya Arya
Wiguna saat menggebrak meja menantang dukun Subur, di Kendal Jateng terjadi
penyerangan oleh ormas keagamaan untuk memberantas kemungkaran di muka bumi,
katanya. Mereka melakukan konvoi seperti pada musim kampanye parpol dan
kemudian menjarah barang dagangan warga setempat dan mengobrak abrik tempat
yang disinyalir dijadikan prostitusi "mogol". Mungkin mogol lebih
tapat karena prostitusi itu kalau sedang diekspose ke media tidak diakui dan
dilindungi pemda setempat. Tapi jika musim hujan seperti ini, lokalisasi
tersebut penuh sesak berjejalan pejabat daerah dan upeti untuk keamanan wajib diberikan
setiap harinya kepada "oknum kepolisian". Kembali pada ormas yang
membakar toko-toko reyot dengan berteriak "Allahu Akbar"! Dikiranya
kalo sudah bilang begitu maka apa yang dilakukannya mutlak benar? Sama saja
jika disimpulkan, atas nama Tuhan kupecahkan miras ini, dan atas nama Tuhan
"aku lho cuek" dengan anak pemilik warung besok bisa makan atau
tidak. Oh, sungguh seperti puasa Ramadhan dan buka puasanya minum segelas Beer.
Sungguh menggelikan..
Baru-baru ini ada lagi, lho! Pada
pelantikan ketua Mahkama Konstitusi setelah Mahfud MD mengundurkan diri, Akhil
Mukhtar berucap "Atas nama Tuhan, saya akan melakukan tugas
dengan...bla..bla..". Mungkin pak Akhil tidak meniatkan diri untuk berucap
seperti itu karena terpaksa sebagai prasyarat pelantikan sebagai ketua MK,
makanya muncul di televisi sebagai tahanan KPK gegara kasus suap. Tapi lucunya
dalam konferensi pers, pak Akhil bilang jika "demi Tuhan saya
dijebak". Toh juga sekarang akhirnya dipenjara juga kan pak?
Kita hidup di jaman edan.
Semua berbolak-balik tidak sesuai tatanan. Begini lah kenyataan yang ada di
tengah-tengah masyarakat Indonesia. Manusia akhir jaman yang gemar untuk
mengumbar kata-kata. Iya, tentunya kebebasan berbicara itu dijunjung tinggi dan
diberikan tempat yang seluas-luasnya di depan hukum. Namun jika manusia sudah
mulai mengumbar apa yang mereka katakan tanpa memikirkan apakah yang mereka
katakan itu mempunyai kekuatan suci, seperti ruh yang semacam tabu untuk
disalah arti dan gunakan, dunia akan habis.
Seperti musim kelarisan bagi
seorang penjual burung. Dimana orang-orang, tua muda berbondong-bondong memburu
segala macam jenis burung yang mempu berkicau indah dan otomatis akan bernilai
jual tinggi. Kata Mas Abu penjual burung: "tahun ini jual beli burung
sedang rame mas, yang awalnya harganya murah jadi mahal, padahal kicaunya biasa
saja. Mungkin ada imbas dari burung-burung esklusif yang langka dan kicaunya
khas (aneh) dibandrol dengan harga yang terlampau tinggi, yang tak masuk akal.
Tapi apapun itu, kalau saya ya senang-senang aja, kan dapet untung. Hehehe
". Ini lah cerminan yang terjadi sekarang. Bukan salah Mas Abu yang selalu
happy jika ada burung berkicau dan harganya tinggi. Hewan tidak bisa disalahkan
karena dia tidak mampu mengartistikkan diri supaya bernilai mahal. Namun, jika
yang begini itu manusia dan bukan burung, maka Mas Abu akan tetap makan nasi
loyang setiap hari karena dia tak bisa jual manusia yang berkicau khas/aneh.
Fenomena laris manisnya jual
beli burung merupakan sebuah pertanda bahwa manusia senang berbicara. Lebih
dari itu, bahkan manusia suka bersuara lantang untuk berkicau janji palsu yang
manis dan khas. Ada yang lebih ekstrim lagi, ketika manusia berkicau dengan
menggunakan kalimat Tuhan untuk menipu orang lain bahkan membunuh orang lain. Mungkin
akan dihargai dengan mahal yang seperti itu, tidak lagi dengan curse rupiah
tapi sudah dollar.
Sungguh lucu, Tuhan tidak
pernah kehilangan sakralNya, namun manusia sekarang menyakralkan diri dengan ayat-ayat
Tuhan. Samar sudah, mana Tuhan mana manusia? Heuheuheu.. Salam menulis.
Disusun oleh: Eko Romansah
06:50, 16/11/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar