Aku
berlindung atas nama harta dan tahta, atas nama kehendak yang
dikehendakkan. Aku berketuhanan dan sekaligus menuhankan. Aku bersabda
maka mereka tak mampu apa-apa, aku berkelana maka sekutuku berpura-pura,
aku berburu maka sebaris perawan menyumbat kelaminku.
Aku
adalah raja dari para brahmana, kasta dari kaum yang terpelajar, yang
terdidik dan akan sekaligus menjadi pendidik. Aku penguasa dari segala
nilai dan norma, aku adalah maha guru dari jajaran guru dan calon guru.
Aku tak perdulikan kualitas dan kuantitasku! Karena mereka berada
dibawah kehormatan kaki-kakiku.
Aku
ini adalah pengusa tunggal, dibangun dari calon pemimpin tunggal, yang
terpilih, yang kupaksa memilih dan orang lain harus tersisih. Tuhanku
maha manunggal dan aku harus meraih suara tunggal. Aku adalah satu, dari
periode ke-satu dan akan menggenggam satu periode berikutnya.
Aku ingin menangis, bercerita, lantas tertawa.
Aku
ini manusia budi, yang tak ingin dikendalikan birahi. Aku ini insan
kamil yang ditempa segumpal niat dan tanggungjawab, dibakar dengan
tungku nilai-nilai, dibilas dengan norma dan agama. Ini lah aku, bak
pusaka raja yang beraura dan penuh wibawa.
Aku
hanya ingin dikenang! Lantas diharumkan. Aku ingin menjadi yang lain
dari yang lain-lain. Maka aku membuat satu kebijakan, yang kuanggap
sebagai trobosan. Kutitahkan, seluruh rakyatku, dari segala penjuru
untuk saling mengerti dan memahami alam dan lingkungan, yang
berkeharusan harmonis dalam jerat-jerat KONSERVASI.
Seperti
menabur umpan dalam kolam, semua penjuru berseru, menyucikan titah maha
guru. Seluruh elemen digarakkan, semua jajaran dikumpulkan, membawa
perintah suci! Konservasi.
Ini
lah kerajaan kecilku, bergerak berderu dan padu. Bangunan-bangunan
kutinggikan, bibit-bibit pohon ku(Perintah) tanamkan! Segala jenis
pembakaran menjadi terlarang, sesanak saudara dari polusi kumusnahkan.
Drynase kubangun! Taman istana kupercantik! Secantik Kalpataru dalam
kaca almariku.
Oh
sungguh sengsara, aku melihat kehancuran atau bisa jadi keberuntungan.
Aku samar-samar menemu, kepantasan budi atau semacam keberuntungan
kodrati. Aku tak tahu, aku tak tahu, aku benar-benar tak menahu.
Terdengar
kabar, negara kota sedang gonjang-ganjingnya. Ribut berebut pasangan,
dari ketidak cocokan sampai kurangnya dana pemasukan. Si merah dan si
biru berseteru, awalnya aku tak mau tahu.
Aku
tetap pada niat dan tujuanku, ibarat berenang sudah kepalang basah,
konservasi mulai membawa angin kesegaran sekalipun menelan banyak
anggaran, ah, apa urusanku! Biarpun kuperas orangtua mahasiswa baru, aku
sudah dapatkan kalpataru. Aku tak mau Adipura, karena disan tak
disematkan namaku, tak ada guna.
Tempo
lalu, aku berhajat! Bisa saja buang-buang hajat, ataupun mengadakan
hajatan. Semua bisa, apapun itu, kulakukan sekehendakku. Aku gemar
kemewahan, oh kurang tepat, kecanduan. Hari jadi kerjaanku harus
dirayakan. Aku ingin pulau sabrang mengendus hajat ini, maka aku
mengundang. Tak terkecuali orang nomor 1 di negara kota ini.
Seperti
pertemuan seorang Gubernur dan calon wakilnya pada pemilihan
berikutnya, ah, aku mengigau, bukan! Aku hanya seorang raja! Raja yang
dibawah kakinya, aku hanya penguasa disebuah departemen yang terdidik.
Wilayahku hanya di sepucuk bukit, hanya ada tujuh fakultas, oh aku tak
pantas! Aku lancang, aku lancang mengandai-andai. Tapi aku ingin! Oh
bukan, ah siapa tahu?
Celaka 12! Benar yang kuduga! Aku dipinang
yang Mulia, aku berlinang airmata. Sungguh aku tak mampu, tak ingin
meninggalkan rakyatku dengan segala kebijakan yang ada. Apa jadi? Bila
aku kalap dengan tahta, dikhilafkan harta. Oh, aku tak ingin
ejakulasi, tidak! Tapi Yang Mulia mengejakulasikanku secara dini dari
istanaku, rakyatku, visi dan misi yang kepalang basah. Aku gundah! Jika
nanti aku tak jadi, aku terlanjur mengundurkan diri, oh tidak, aku pasti
BISSA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar