Menulis adalah bentuk kegiatan kedua yang harus dilakukan
setelah membaca. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang menulis untuk
menuangkan apa yang ada dalam pikiran kita kedalam bentuk aksara. Menulis
merupakan bentuk intepretasi buah pikiran selain berbicara. Prosesnya sederhana
saja, dari membaca kemudian input materi bacaan masuk kedalam otak dan kemudian
diolah dalam otak melalui serangkaian proses yang kemudian diaktulisasikan
lewat bahasa oral, bahasa tulisan atau cukup disimpan dalam ingatan si pembaca.
Input yang masuk dan bersarang dalam otak lebih baik dituangkan dalam bentuk
tulisan atau lesan. Layaknya sebuah pancuran air, agar tidak penuh dan tumpah
maka bak air sebaiknya dialirkan dalam lubang pancuran yang mengalir menuju
wadah yang lainnya. Begitu pula kerja otak kita yang semakin lama semakin
banyak otak menampung input yang jika tidak dialirkan dalam bentuk tulisan atau
lesan maka yang terjadi adalah lupa.
Perbandingan output yang berbentuk lesan ataupun tulisan
sebaiknya seimbang dan bahkan boleh saja berat sebelah. Dalam artian boleh saja buah
pemikiran kita diaktualisasikan dalam bentuk lesan terus menerus atau dalam
bentuk tulisan terus menerus. Dari
keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pengaruh dari minat
dan bakat individu juga mempengaruhi bagaimana intensitas pengaktualisasian
pemikiran baik dalam bentuk lesan maupun tulisan. Contoh yang paling mudah kita
pahami adalah kecendrungan bentuk aktualisasi pikiran pelajar IPS (ilmu
pengetahuan sosial) dengan pelajar IPA (ilmu pengetahuan alam). Pelajar social
lebih memilih untuk berbicara daripada menulis seperti pelajar eksak ekalipun
mereka sama-sama memperoleh input
dari membaca dan mendengarkan.
Jika dilihat dari efekstifitas metode untuk
mengaktualisasikan buah pemikiran adalah dengan menulis. Dengan menulis kita
dapat mendokumentasikan apa yang kita oikirkan, rasakan dan sekaligus kita
alami. Menulis merupakan bentuk pengabadian cerminan diri yang dibingkai dalam
sejarah hidup seseorang. Hal ini tercermin dari beberapa kebiasaan nenek moyang
kita yang gemar meninggalkan prasasti yang sekarang dijadikan fakta sejarah
yang hampir tidak punah ditelan jaman. Cerminan yang lainnya adalah bagaimana
nenek moyang kita dulu sering menuliskan apa yang mereka pikirkan ke dalam
batu, kulit binatang, dan pelepah pohon. Pentingnya menulis juga bisa dilihat
dari sejarah perkembangan islam yang dulunya dalam pengabadian wahyu tuhan juga
dengan ditulis dan dibukukan. Sehingga hasil tulisan yang merupakan teks
penting bisa dimanfaatkan untuk dibaca dan dipelajari dari generasi ke
generasi.
Berbeda dengan budaya lesan yang memang pada kenyataannya
mengalami pergeseran keutuhan pemikiran aslinya. Seperti halnya cerita rakyat
yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut yang faktanya tidak bisa
terjaga keasliannya. Dari satu pemikiran yang awalnya kompleks mengalami
kondensasi menjadi semakin tidak bisa mewakili pemikiran atau cerita tersebut.
Kelemahan dalam budaya lesan adalah pada subjek yang bercerita. Hasil pemahaman
dari satu individu ke individu yang lain bisa saja berbeda dan perbedaan
tersebut sampai pada generasi terakhir sudah dianggap tidak bisa mewakili isi
dari suatu cerita atau pemikiran tersebut.
Maka dari itu pentingnya budaya menulis yang terbukti
berhasil untuk menjaga keagungan sebuah peradaban yang telah lalu perlu
dikembangkan. Penulis muda mengatakan bahwa dengan menulis untuk menunda lupa
dan itu memang benar keberadaannya. Teks yang merupakan hasil dari menulis bisa
digunakan sewaktu-waktu jika kita mengalami kesulitan atau lupa dengan buah
pemikiran kita. Dan disamping itu juga ketika kita sedang menulis sebisa
mungkin penulis dituntut untuk tidak lupa dengan apa yang kan ditulis atau
materi yang sebelumnya sudah dibaca dan kemudian akan dituliskan kembali.
Jika menulis sudah menjadi suatu budaya, sesuatu yang dijaga
dan dipelihara kelangsungannya, maka peradaban yang dibangun oleh masyarakat
itu akan mencapai puncak kejayaan dengan cepat. Indonesia yang merupakan Negara
besar dengan segala ragam budaya memang terlihat belum menyadari akan
pentingnya menulis. Pemikir-pemikir muda Indonesia cenderung kesulitan ketika
ingin mengungkap sebuah rahasia sejarah karena minimnya teks-teks yang bisa
dijadikan rujukan untuk memecahkan suatu permasalahan. Hal ini berakar pada sangat rendahnya minat
menulis bagi masyarakat kita. Disamping itu pula kesadaran menjaga hasil
tulisan yang sudah ada nampaknya dalam posisi nadir.
Sehebat apapun kita jika tidak menulis maka kita akan
dilupakan jaman. Salam sastra!
Romansah
29-07-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar