Selasa, 30 Juli 2013

Budaya Menulis yang Rendah


Menulis adalah bentuk kegiatan kedua yang harus dilakukan setelah membaca. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang menulis untuk menuangkan apa yang ada dalam pikiran kita kedalam bentuk aksara. Menulis merupakan bentuk intepretasi buah pikiran selain berbicara. Prosesnya sederhana saja, dari membaca kemudian input materi bacaan masuk kedalam otak dan kemudian diolah dalam otak melalui serangkaian proses yang kemudian diaktulisasikan lewat bahasa oral, bahasa tulisan atau cukup disimpan dalam ingatan si pembaca. Input yang masuk dan bersarang dalam otak lebih baik dituangkan dalam bentuk tulisan atau lesan. Layaknya sebuah pancuran air, agar tidak penuh dan tumpah maka bak air sebaiknya dialirkan dalam lubang pancuran yang mengalir menuju wadah yang lainnya. Begitu pula kerja otak kita yang semakin lama semakin banyak otak menampung input yang jika tidak dialirkan dalam bentuk tulisan atau lesan maka yang terjadi adalah lupa.

Perbandingan output yang berbentuk lesan ataupun tulisan sebaiknya seimbang dan bahkan boleh saja  berat sebelah. Dalam artian boleh saja buah pemikiran kita diaktualisasikan dalam bentuk lesan terus menerus atau dalam bentuk tulisan terus menerus.  Dari keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pengaruh dari minat dan bakat individu juga mempengaruhi bagaimana intensitas pengaktualisasian pemikiran baik dalam bentuk lesan maupun tulisan. Contoh yang paling mudah kita pahami adalah kecendrungan bentuk aktualisasi pikiran pelajar IPS (ilmu pengetahuan sosial) dengan pelajar IPA (ilmu pengetahuan alam). Pelajar social lebih memilih untuk berbicara daripada menulis seperti pelajar eksak ekalipun mereka sama-sama memperoleh input dari membaca dan mendengarkan.
Jika dilihat dari efekstifitas metode untuk mengaktualisasikan buah pemikiran adalah dengan menulis. Dengan menulis kita dapat mendokumentasikan apa yang kita oikirkan, rasakan dan sekaligus kita alami. Menulis merupakan bentuk pengabadian cerminan diri yang dibingkai dalam sejarah hidup seseorang. Hal ini tercermin dari beberapa kebiasaan nenek moyang kita yang gemar meninggalkan prasasti yang sekarang dijadikan fakta sejarah yang hampir tidak punah ditelan jaman. Cerminan yang lainnya adalah bagaimana nenek moyang kita dulu sering menuliskan apa yang mereka pikirkan ke dalam batu, kulit binatang, dan pelepah pohon. Pentingnya menulis juga bisa dilihat dari sejarah perkembangan islam yang dulunya dalam pengabadian wahyu tuhan juga dengan ditulis dan dibukukan. Sehingga hasil tulisan yang merupakan teks penting bisa dimanfaatkan untuk dibaca dan dipelajari dari generasi ke generasi.
Berbeda dengan budaya lesan yang memang pada kenyataannya mengalami pergeseran keutuhan pemikiran aslinya. Seperti halnya cerita rakyat yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut yang faktanya tidak bisa terjaga keasliannya. Dari satu pemikiran yang awalnya kompleks mengalami kondensasi menjadi semakin tidak bisa mewakili pemikiran atau cerita tersebut. Kelemahan dalam budaya lesan adalah pada subjek yang bercerita. Hasil pemahaman dari satu individu ke individu yang lain bisa saja berbeda dan perbedaan tersebut sampai pada generasi terakhir sudah dianggap tidak bisa mewakili isi dari suatu cerita atau pemikiran tersebut.
Maka dari itu pentingnya budaya menulis yang terbukti berhasil untuk menjaga keagungan sebuah peradaban yang telah lalu perlu dikembangkan. Penulis muda mengatakan bahwa dengan menulis untuk menunda lupa dan itu memang benar keberadaannya. Teks yang merupakan hasil dari menulis bisa digunakan sewaktu-waktu jika kita mengalami kesulitan atau lupa dengan buah pemikiran kita. Dan disamping itu juga ketika kita sedang menulis sebisa mungkin penulis dituntut untuk tidak lupa dengan apa yang kan ditulis atau materi yang sebelumnya sudah dibaca dan kemudian akan dituliskan kembali.
Jika menulis sudah menjadi suatu budaya, sesuatu yang dijaga dan dipelihara kelangsungannya, maka peradaban yang dibangun oleh masyarakat itu akan mencapai puncak kejayaan dengan cepat. Indonesia yang merupakan Negara besar dengan segala ragam budaya memang terlihat belum menyadari akan pentingnya menulis. Pemikir-pemikir muda Indonesia cenderung kesulitan ketika ingin mengungkap sebuah rahasia sejarah karena minimnya teks-teks yang bisa dijadikan rujukan untuk memecahkan suatu permasalahan.  Hal ini berakar pada sangat rendahnya minat menulis bagi masyarakat kita. Disamping itu pula kesadaran menjaga hasil tulisan yang sudah ada nampaknya dalam posisi nadir.
Sehebat apapun kita jika tidak menulis maka kita akan dilupakan jaman. Salam sastra!

Romansah
29-07-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar