Membaca adalah suatu
bentuk aktifitas mengejakan aksara. Entah bagaimana tepatnya, namun membaca
mempunyai peranan penting bagi perkembangan diri. Apapun meteri yang dibaca
secara langsung atau tidak langsung memberikan pengaruh akan cara berpikir seseorang.
Menurut saya, aktifitas membaca pasti membawa hal positif bagi siapapun tanpa
melihat apa yang dia baca. Logikanya, perubahan sikap dan pola berpikir
seseorang setelah membaca apapun tergantung individu masing-masing. Satu hal
yang perlu digaris bawahi adalah dengan membaca pasti akan bermanfaat bagi
pembaca dalam sikon yang tak terprediksi, baik dalam waktu dekat setelah melakukan
aktifitas membaca atau dalam jangka panjang yang akan datang.
Hakikat kehidupan manusia di bumi ini adalah diperintahkan
untuk membaca. Dalam perkembangan-perkembangan ideologi diseluruh penjuru
dunia, kesemuanya lahir dari membaca. Apalagi dalam hal-hal yang menyangkut
ideologi keagamaan. Dalam islam, wahyu Tuhan yang diturunkan pertamakali untuk
umat manusia adalah Iqro yang berarti
‘bacalah’. Bukan hanya sekedar kata yang membaca namun perintah untuk membaca.
Esensi yang lebih kompleks dari peristiwa turunnya ayat tersebut adalah dimana
Al-quran yang sebagai pedoman dan petunjuk bagi keberadaan manusia di bumi
merupakan sekumpulan teks-teks tertulis yang pastinya wajib untuk diaejakan,
dimengerti, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga berlaku
untuk kitab-kitab yang lain dalam agama selain Islam. Kitab-kitab mereka harus
dibaca oleh para pemeluk agamanya masing-masing sebagai jendela wawasan
rohaniah dan jasmaniah yang sudah barang tentu menuntun pola jidup dan pola
berpikir.
Menilik rahasia keberhasilan sekelompok ras minoritas Yahudi
yang notabene sekarang berhasil mendominasi perputaran kehidupan manusia di
dunia, mereka mngedepankan budaya membaca. Dari buku yang telah say baca yakni
Rahasia Keberhasilan Kaum Yahudi kerangan Kants, disana terdapat pokok-pokok
metode pengembangan diri dengan membaca. Biarpun setelah membaca kaum Yahudi
membiasakan diri untuk tidak menuliskan apa yang mereka baca namun hanya
diahafalkan saja untuk meningkkatkan kecerdasan otak, tapi mereka bertolak dari
aktifitas membaca. Seyogyanya dimensi positif ini selayaknya dianut dan
dijadikan konsumsi sehari-hari bagi umat atau kaum yang lainnya. Padahal jika
ditinjau dari sudut pandang Islam, budaya membaca kaum Yahudi bermuara dari
Iqro sebagai ayat petunjuk bagi kaum Islam. Alhasil merekalah yang berhasil
mendahului kita dalam dunia perkembangan teknologi dan informasi.
Indonesia sebagai Negara yang mayoritas penduduknya memeluk
agama Islam nampaknya kurang begitu memperhatikan bagaimana pentingnya membaca.
Sudah jelas-jelas Negara kita adalah Negara yang kaya akan keragaman budaya
nusantara namun minat membaca dan mempelajari teks-teks warisan leluhur sangat
rendah. Padahal jika kita menyadari bahwa jauh sebelum negara-negara sekuler
maju dan berkembang, nenek moyang masyarakat Indonesia sudah memberikan arahan
dan anjuran bagaimana pentingnya membaca. Teks-teks kuno yang dituliskan oleh
leluhur bangsa baik dalam bentuk buku, kitab, serat, suluk, atau prasti-prasati
yang tertulis dibeberapa batu dan pelepah kulit pohon telah menunjukkan
bagaimana kita diwarisi untuk membacanya. Bukan hanya sekedar sebagai hiasan
almari rumah atau koleksi benda-benda bersejarah namun disanalah pintu gerbang
kemajuan hidup untuk kita semua.
Orang bijak mengatakan bahwa semakin banyak membaca semakin
banyak lupa, akan tetapi jika tidak membaca kita tak akan pernah tahu apa yang
telah dilupakan. Pesan yang ingin disampaikan adalah dengan semakin banyak
membaca semakin banyak pula otak kita terisi akan hal-hal yang baru. Disaat itu
pula kita melupakan hal-hal yang pernah kit abaca sebelumnya. Dalam serangkaian
proses membaca tersebut suatu saat akan bertemu dengan keterkaitan-keterkaitan
materi bacaan yang sebelumnya pernah kita baca sekalipun tidak secara
keseluruhan. Setidaknya kita bisa memiliki arah berpikir logis dan bisa
meruntut akar permasalahan yang kita temukan sebagai sebuah pengetahuan yang
mantap. Coba bayangkan apabila kita tidak pernah membaca sama sekali
sebelumnya, maka yang terjadi adalah ketika kita membaca untuk pertama kali
pengetahuan kita hanya sebatas itu saja. Kita tidak punya resensi bahan pijakan
ketika kita menemukan permasalahan atau kesulitan pemahaman dari apa yang kita
baca.
Begitu pula dengan petuah membaca adalah seni waktu. Hal ini
diintrapretasikan dengan melakukan kegiatan atau aktifitas membaca sebuah teks
atau buku harus dalam kesatuan waktu yang tidak boleh dipenggal-penggal.
Simplenya adalah ketika kita membaca sebuah buku dan baru sampai beberapa
halaman lalu kita berpindah untuk membaca buku yang lain dan temanya berbeda
maka kita tidak akan menemukan seni membaca yang efektif dan efesien.
Efektifitas waktu yang saling berurutan sangat mempengaruhi hasil dari membaca
yang berujung pada pemahaman. Sekalipun jika belum mampu untuk menerapkan trik
dari pengembangan membaca, hanya berniat membaca saja sudah baik sekali.
Pentingnya menumbuhkan minat membaca sudah banyak disuarakan
dan digembor-gemborkan oleh banyak kalangan. Setidaknya saya menginginkan
menjadi bagian dari mereka yang perduli akan minat membaca. Negara ini akan
menunggu keruntuhan dan kehancuran peraban ketika masyarakatnya tidak mau
membaca dan mempelajari ilmu-ilmu yang ada dalam sekumpulan aksara. Bukan saya
seorang kutu buku atau maniak membaca namun hanya saja saya ingin menekankan
bahwa untuk membangun kualitas diri, buatlah pondasi sekuat-kuatnya dengan
membaca. Memang dengan membaca tidak harus menjadi pemimpin tapi kebanyakan
pemimpin adalah mereka yang gemar membaca. Salam sastra!
Romansah
26-07-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar