Jumat, 26 Juli 2013

Iqro Lebih dari Sekedar Membaca



Membaca  adalah suatu bentuk aktifitas mengejakan aksara. Entah bagaimana tepatnya, namun membaca mempunyai peranan penting bagi perkembangan diri. Apapun meteri yang dibaca secara langsung atau tidak langsung memberikan pengaruh akan cara berpikir seseorang. Menurut saya, aktifitas membaca pasti membawa hal positif bagi siapapun tanpa melihat apa yang dia baca. Logikanya, perubahan sikap dan pola berpikir seseorang setelah membaca apapun tergantung individu masing-masing. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah dengan membaca pasti akan bermanfaat bagi pembaca dalam sikon yang tak terprediksi,  baik dalam waktu dekat setelah melakukan aktifitas membaca atau dalam jangka panjang yang akan datang.

Hakikat kehidupan manusia di bumi ini adalah diperintahkan untuk membaca. Dalam perkembangan-perkembangan ideologi diseluruh penjuru dunia, kesemuanya lahir dari membaca. Apalagi dalam hal-hal yang menyangkut ideologi keagamaan. Dalam islam, wahyu Tuhan yang diturunkan pertamakali untuk umat manusia adalah Iqro yang berarti ‘bacalah’. Bukan hanya sekedar kata yang membaca namun perintah untuk membaca. Esensi yang lebih kompleks dari peristiwa turunnya ayat tersebut adalah dimana Al-quran yang sebagai pedoman dan petunjuk bagi keberadaan manusia di bumi merupakan sekumpulan teks-teks tertulis yang pastinya wajib untuk diaejakan, dimengerti, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga berlaku untuk kitab-kitab yang lain dalam agama selain Islam. Kitab-kitab mereka harus dibaca oleh para pemeluk agamanya masing-masing sebagai jendela wawasan rohaniah dan jasmaniah yang sudah barang tentu menuntun pola jidup dan pola berpikir.
Menilik rahasia keberhasilan sekelompok ras minoritas Yahudi yang notabene sekarang berhasil mendominasi perputaran kehidupan manusia di dunia, mereka mngedepankan budaya membaca. Dari buku yang telah say baca yakni Rahasia Keberhasilan Kaum Yahudi kerangan Kants, disana terdapat pokok-pokok metode pengembangan diri dengan membaca. Biarpun setelah membaca kaum Yahudi membiasakan diri untuk tidak menuliskan apa yang mereka baca namun hanya diahafalkan saja untuk meningkkatkan kecerdasan otak, tapi mereka bertolak dari aktifitas membaca. Seyogyanya dimensi positif ini selayaknya dianut dan dijadikan konsumsi sehari-hari bagi umat atau kaum yang lainnya. Padahal jika ditinjau dari sudut pandang Islam, budaya membaca kaum Yahudi bermuara dari Iqro sebagai ayat petunjuk bagi kaum Islam. Alhasil merekalah yang berhasil mendahului kita dalam dunia perkembangan teknologi dan informasi.
Indonesia sebagai Negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam nampaknya kurang begitu memperhatikan bagaimana pentingnya membaca. Sudah jelas-jelas Negara kita adalah Negara yang kaya akan keragaman budaya nusantara namun minat membaca dan mempelajari teks-teks warisan leluhur sangat rendah. Padahal jika kita menyadari bahwa jauh sebelum negara-negara sekuler maju dan berkembang, nenek moyang masyarakat Indonesia sudah memberikan arahan dan anjuran bagaimana pentingnya membaca. Teks-teks kuno yang dituliskan oleh leluhur bangsa baik dalam bentuk buku, kitab, serat, suluk, atau prasti-prasati yang tertulis dibeberapa batu dan pelepah kulit pohon telah menunjukkan bagaimana kita diwarisi untuk membacanya. Bukan hanya sekedar sebagai hiasan almari rumah atau koleksi benda-benda bersejarah namun disanalah pintu gerbang kemajuan hidup untuk kita semua.
Orang bijak mengatakan bahwa semakin banyak membaca semakin banyak lupa, akan tetapi jika tidak membaca kita tak akan pernah tahu apa yang telah dilupakan. Pesan yang ingin disampaikan adalah dengan semakin banyak membaca semakin banyak pula otak kita terisi akan hal-hal yang baru. Disaat itu pula kita melupakan hal-hal yang pernah kit abaca sebelumnya. Dalam serangkaian proses membaca tersebut suatu saat akan bertemu dengan keterkaitan-keterkaitan materi bacaan yang sebelumnya pernah kita baca sekalipun tidak secara keseluruhan. Setidaknya kita bisa memiliki arah berpikir logis dan bisa meruntut akar permasalahan yang kita temukan sebagai sebuah pengetahuan yang mantap. Coba bayangkan apabila kita tidak pernah membaca sama sekali sebelumnya, maka yang terjadi adalah ketika kita membaca untuk pertama kali pengetahuan kita hanya sebatas itu saja. Kita tidak punya resensi bahan pijakan ketika kita menemukan permasalahan atau kesulitan pemahaman dari apa yang kita baca.
Begitu pula dengan petuah membaca adalah seni waktu. Hal ini diintrapretasikan dengan melakukan kegiatan atau aktifitas membaca sebuah teks atau buku harus dalam kesatuan waktu yang tidak boleh dipenggal-penggal. Simplenya adalah ketika kita membaca sebuah buku dan baru sampai beberapa halaman lalu kita berpindah untuk membaca buku yang lain dan temanya berbeda maka kita tidak akan menemukan seni membaca yang efektif dan efesien. Efektifitas waktu yang saling berurutan sangat mempengaruhi hasil dari membaca yang berujung pada pemahaman. Sekalipun jika belum mampu untuk menerapkan trik dari pengembangan membaca, hanya berniat membaca saja sudah baik sekali.
Pentingnya menumbuhkan minat membaca sudah banyak disuarakan dan digembor-gemborkan oleh banyak kalangan. Setidaknya saya menginginkan menjadi bagian dari mereka yang perduli akan minat membaca. Negara ini akan menunggu keruntuhan dan kehancuran peraban ketika masyarakatnya tidak mau membaca dan mempelajari ilmu-ilmu yang ada dalam sekumpulan aksara. Bukan saya seorang kutu buku atau maniak membaca namun hanya saja saya ingin menekankan bahwa untuk membangun kualitas diri, buatlah pondasi sekuat-kuatnya dengan membaca. Memang dengan membaca tidak harus menjadi pemimpin tapi kebanyakan pemimpin adalah mereka yang gemar membaca. Salam sastra!

Romansah
26-07-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar