Di hari terakhir
puasa ini aku terus menulis. Entah bagaimana mulanya aku tak tahu jemari tangan
dengan cepat mentransformasikan perintah dari gerakan Neuron-neuron otak menjadi
tulisan. Mungkin sebagai tanda dimana aku sedang bungah-bungahnya atau memang
aku teramat bungah. Sejak sekarang aku akan benar-benar paham yang sebetulnya
terjadi bahwa air mata yang jatuh di setiap pelupuk mata adalah sama. Iya
memang benar adanya, air mata yang dijatuhkan untuk sebuah kepedihan dan
kebahagiaan ada sama kuatnya. Kebanyakan orang menganggap bahwa airmata
kepedihan lebih sangat mengiris perasaan atau lebih mengena dalam hati karena
sebab musabab kedatangan air mata itu dari sesuatu yang menyesakkan hati. Manusia
akan lebih mengeluh dan memprotes tentang datangnya kabar kepedihan yang
menimbulkan jatuhnya air mata. Hal ini Nampak wajar adanya karena kesediaan
seseorang akan kepasrahan kepada Sang Pencipta sangat rendah. Rasa syukur yang
seharusnya menjadi pijakan utama dalam menjalani cobaan atau ujian kepedihan
yang datang tidak ditempatkan pada posisi sebagaimana mestinya.
Kini mungkin apa yang aku rasakan sedang berada pada sisi
yang bersebelahan atau bahkan bisa saja pada sisi yang beerlawanan. Bukan aku
tak mempunyai landasan berpikir dan berpendapat akan adanya sesuatu, namun
sebenar-benarnya kejadian yang aku rasakan adalah ketika situasi hening yang
penuh kejernihan merasa dan berpikir disitulah bukti kuat bahwa apa yang aku
rasakan benar dan benar berbeda dengan yang lainnya. Air mata yang jatuh saat
aku merasakan kebahagiaan atas dahaga kasih yang panjang, sangat terasa
menyesakkan hati. Air mata yang jatuh berlinang tawa dan kebahagiaan mempunyai
Roh yang mampu mendobrak kengiluan hati selama bertahun-tahun. Jika dihitung
frekuensi atau intensitas kedatangan airmata kebahagiaan lebih sedikit
dibandingkan dengan air mata kepedihan. Namun yang biasanya jarang atau langka
itu lah yang sebenar-benarnya airmata.
Kronologinya begini: setelah bertahun-tahun untuk menanti
datangnya airmata kebahagiaan harus bermandikan airmata kepedihan setiap
harinya. Air mata yang membawa keputus asaan, menyerah dengan keadaan, dan
sampai membuat hati seseorang membeku atas apa yang seharusnya benar menjadi
sesuatu yang mutlak salah. Disitulah seseorang harus mengalami proses airmata yang
memang terasa menyesakkan hidup, mempercepat kematian dan bahkan menumpas habis
kekuatan cinta yang ada dalam hati. Seperti usaha mecari kebahagiaan yang
sejati, kita harus digodok dan digembleng dalam kawah Condro Dimuko. Sebuah
kawah yang berisikan kepedihan, kesengsaraan, kesulitan, sehingga bisa membuat
seorang manusia kuat akan datangnya cobaan kepedihan. Kawah ini merupakan hasil
bias dari potongan ayat suci Al-Quran ’’Fainnama’al
usriyusroo innama’al usriyusroo’’ setelah kesulitan ada kemudahan dan
begitu sebaliknya.
Nah, kembali pada pembahasan airmat kebahagiaan yang
merupakan bentuk asli dari adanya airmata. Dengan menanti, manusia akan menuai
hasil atas kesediaan diri menjaga kesabaran yang panjang. Kesabaran yang tanpa
henti, tak terbatas, yang timbul tenggelam akan menanti datangnya airmata
kebahagiaan.
Air mata ini, ika jatuh disaat kita sudah merasa dahaga
kebahagiaan, maka yang terjadi adalah melebihi rasa datangnya airmata kesedihan
yang terus-menerus. Untuk menuliskan agaimana perbedaan rasanya, perlu
pendalaman yang lebih serius dengan menyelami diri sendiri, masuk dalam diri
sendiri atau keluar dari diri sendiri. Semacam rasa yang jika kita harus
bersedih, maka kesedihan itu adalah kesedihan yang paling berat dan tiada
tanding akan kesedihan sebelumnya, padahal airmata itu adalah airmata
kebahagiaan. Jika kita harus merasa senang, maka airtmata kebahagiaan yang
datang itu akibat dari sebuah moment dimana telah ditunggu-tunggu selama
berthun-tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar