Jumat, 20 September 2013

Ibu Kami Kembali Pergi

Hari ini, Sabtu 21 September 2013, kami dipaksa untuk kembali merasa kehilangan sesuatu. Dini hari tadi, saya dan Dwi harus kembali pada formasi semula. Dimana sepantasnya keluarga dibangun dari beberapa unsur wajib dari kehadiran seorang ayah dan ibu, lalu kemudian beberapa anak yang semestinya menjadi berkah kekal dari Yang Maha Kuasa. Begitu kiranya sebuah keluarga dikatakan lengkap dalam proporsi umum masyarakat yang dibesarkan dari kebudayaan yang santun dan kaya akan nilai-nilai luhur.

Apa jadinya bila bentuk keluarga yang diidamkan itu bukan sesuai dengan kenyataan? Sederhananya seperti ini: jika ada pertanyaan apakah mungkin sebuah keluarga itu hanya terdiri dari seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan? maka jawabannya adalah sangat mungkin dan fakta telah berbicara demikian. Lantas dari mana mereka berasal jika tidak adanya kehadiran seorang ayah dan ibu mereka?
Anggap saja kami terlahir dari batu yang keluar dari mulut gunung berapi, yang keluar dari semburan amarah alam yang terjadi hampir seratus tahun sekali. Batu yang meluncur dari ketinggian diatas 1000 meter dan meluluh lantahkan manusia-manusia dibawahnya. Manusia yang mulanya hidup dengan damai dan sejahtera mensyukuri karunia alam dan telah ditumpas habis oleh panasnya lahar yang menyelimuti permukaan batu tersebut. ketika batu itu pecah karena berbenturan satu sama lain, maka tercipatalah kami. Dua insan yang hidup dari sisa-sisa derita alam.
Dua bulan yang lalu, kami seperti padi yang riang gembira akan datang hujan yang membasahi rongga-rongga tanah. kami mampu hidup kembali dengan resapan-resapan tetes air dan disejukkan dengan embun fajar yang teduh. Kedatangan ibu kami seperti hujan dimusim kemarau, yang dinanti dan mampu menghidupkan kami kembali. Kehidupan berputar dari siklus plus ke minus dan kembali pada titik semula sampai tidak ada lagi udara yang bisa kami hirup. Dan seperti itu lah kami adanya.
Kami sadar bahwa hakekat keberadaan adalah kesendirian. Dimana kami harus mampu menerima kenyataan hidup bahwa tidak selamanya apa yang kami miliki mutlak milik kami sendiri. Semua berada dalam kesadaran tarik menarik yang pilu, yang mengharuskan kami berbagi waktu dan kebersamaan dari sebuah kebahagiaan.
Kami sadar, bahwa Ibu kami saat ini bukan milik kami seutuhnya. Ketika kebutuhan hidup dan rasa yang telah terbagi memaksa prisma-prisma air mata mengalir begitu deras diantara kelopak mata yang sendu. jika memang manusia itu diciptakan untuk berpasang-pasangan, maka siapakah pasangan kami? siapakah yang melengkapi kemarau belai kasih dari orangtua kepada kami? dan jawabannya tepat pada hari ini, Ibu kami kembali pergi menjauh dari pandangan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar