Entah
bagaimana mulanya, pemikiran seperti ini terbesit di atas kepala yang mulai
memanas dengan segala macam kesyahduan tugas akhir perkuliahan yang disebut
Skripsi. Akan tetapi bukan itu yang akan saya bahas namun kesediaan mengemban
gelar Sarjana Sastra yang sebagaimana mestinya, membuat otak saya berhenti
bekerja barang sejenak. kesiapan untuk benar-benar siap menjadi seorang
akademisi kesusastraan yang tidak hanya mencakup muatan sastra lokal namun
sudah merambah pada sastra lintas benua, yaitu Sastra Prancis. sekalipun
nantinya yang trsemat adalah gelar Sarjana Sastra dalam lingkup umum, akan
tetapi rasa tanggung jawab yang berat sudah pasti berada pada pundak seorang
mahasiswa yang menempuh studi selama lebih dari 4 tahun bergelut dengan kesusastraan
Prancis.
Memang
pada mulanya, saya tidak pernah menyangka jika nantinya saya akan terjun dan
menggeluti dunia kesusastraan Prancis. Sejak kecil memang keinginan dan
cita-cita saya bukan pada bidang itu, namun entah mungkin rencana Tuhan akan
lebih indah dengan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Setidaknya
keharusan untuk tulus ikhlas menjalani apa yang sekarang sedang saya hadapi,
itu lah yang menjadi awal dari sederetan proses yang semestinya saya rasakan.
Memang kesadaran untuk memberikan yang terbaik pada apa yang sekarang saya
hadapi dan jalani terasa sangat terlambat. Kesadaran tersebut muncul setelah
sekian lama saya menempuh hampir 6 semester yang lalu. Dimana saya diharuskan
untuk benar-benar harus menelan buku-buku bacaan apa saja yang mengenai
kesusatraan, sejarah dan budaya. Sebelumnya saya hanyalah mahasiswa yang
stagnan yang hanya mementingkan nilai akhir semester sebagai tolak ukur
keberhasilan sebagai seorang mahasiswa sastra dan itu sangat kurang dari apa
yang seharusnya saya dapatkan.
Terbesit
dari sebuah pertanyaan, bekal apa yang sudah saya dapatkan untuk menjadi
seorang yang bergelar Sarjana Sastra? dan itu memang sangat mengusik pemikiran
saya saat ini. saya terlahir sebagai seorang yang perfectionist, yang mendorong saya untuk mencapai hasil yang
mendekati sempurna dari apa yang telah saya perjuangkan selama ini. Gejolak
rasa yang timbul saat ini sebagai titik balik dimana pada kenyataannya saya
memang belum merasa pantas untuk mengemban gelar tersebut nantinya. Sedangkan
waktu tidak bisa diputar kembali sesuai dengan apa yang saya harapkan. jika ini
saya sebut sebagai penyesalan yang ironis adalah benar adanya. Bagaimana tidak,
selama 2 semester akhir ini saya baru merasa seperti seorang yang berlari untuk
mendapatkan materi-materi yang sebelumnya belum pernah saya baca atau dapatkan
dari manapun kecuali dari kesadaran membaca. Itu pun saya masih merasa kurang
dan benar-benar malu nantinya jika dituntut system Universitas untuk segera
menyelesaikan Skripsi saya.
Saya
adalah orang yang paling bodoh atas tindakan yang memalukan dengan
membuang-buang waktu tidak untuk membaca. Kecemasan yang membunuh untuk
menjawab pertanyaan apakah saya sudah pantas untuk menjadi Sarjana Sastra yang
benar pada proporsinya? dan saya tuliskan ini sebagai penanda kegamangan yang
tidak lekas pergi dari otak saya. Rasa yang selalu kurang atas apa yang saya
dapatkan adalah sebagai penanda betapa ambisiuanya saya sebagai seorang
mahasiswa yang besar pasak daripada tiang. Besar keinginan daripada perbuatan
atau action untuk mewujudkan apa yang telah menjadi keinginan dan cita-cita
saya. Jika harus dihadapkan dengan motivator yang mengatakan “life must go on”, berarti saya harus
tetap berjalan seperti seorang pengemis yang pulang dengan kantong beras yang
tidak penuh.
Sastra
Prancis adalah salah satu disiplin ilmu yang tidak hanya mempelajari bagaimana
berbahasa Prancis dengan baik dan benar namun juga diharuskan mengerti budaya,
sejarah, dan kesusatraan Prancis. Sedangkan berapa banyak macam jenis kesusastraan
yang dimiliki oleh Negara yang terkenal sebagai Negara yang paling berbudaya
dan beradap di benua Eropa itu? jawabannya adalah sangat kompleks. Kenyataan
yang terjadi adalah untuk memahami struktur bahasanya saja sudah terasa rumit
apalagi jika harus masuk dalam ranah teks-teks fiksi atau non fiksi yang
dihasilkan berabad-abad lamanya. Ini bukan berarti saya terlalu banyak mengeluh
dan kalah sebelum berperang, namun ini adalah saat dimana saya sudah berperang
dan memang musuh yang saya hadapi sangat kuat dan butuh kesiapan ekstra yang
harus saya miliki. Sedangkan kesiapan tersebut sedang menari-menari di atas
otak saya saat ini. Bukan masalah obat penyuplai kecerdasan otak atau
semacamnya, namun masalah apakah sudah pantaskah saya untuk mengemban Sarjana
Sastra? Dan semoga mimpi saya indah mala mini! Salam sastra.
Romansah 17/09/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar