Senin, 16 September 2013

Siapkah untuk Menjadi Seorang Sarjana Sastra?



Entah bagaimana mulanya, pemikiran seperti ini terbesit di atas kepala yang mulai memanas dengan segala macam kesyahduan tugas akhir perkuliahan yang disebut Skripsi. Akan tetapi bukan itu yang akan saya bahas namun kesediaan mengemban gelar Sarjana Sastra yang sebagaimana mestinya, membuat otak saya berhenti bekerja barang sejenak. kesiapan untuk benar-benar siap menjadi seorang akademisi kesusastraan yang tidak hanya mencakup muatan sastra lokal namun sudah merambah pada sastra lintas benua, yaitu Sastra Prancis. sekalipun nantinya yang trsemat adalah gelar Sarjana Sastra dalam lingkup umum, akan tetapi rasa tanggung jawab yang berat sudah pasti berada pada pundak seorang mahasiswa yang menempuh studi selama lebih dari 4 tahun bergelut dengan kesusastraan Prancis.

Memang pada mulanya, saya tidak pernah menyangka jika nantinya saya akan terjun dan menggeluti dunia kesusastraan Prancis. Sejak kecil memang keinginan dan cita-cita saya bukan pada bidang itu, namun entah mungkin rencana Tuhan akan lebih indah dengan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Setidaknya keharusan untuk tulus ikhlas menjalani apa yang sekarang sedang saya hadapi, itu lah yang menjadi awal dari sederetan proses yang semestinya saya rasakan. Memang kesadaran untuk memberikan yang terbaik pada apa yang sekarang saya hadapi dan jalani terasa sangat terlambat. Kesadaran tersebut muncul setelah sekian lama saya menempuh hampir 6 semester yang lalu. Dimana saya diharuskan untuk benar-benar harus menelan buku-buku bacaan apa saja yang mengenai kesusatraan, sejarah dan budaya. Sebelumnya saya hanyalah mahasiswa yang stagnan yang hanya mementingkan nilai akhir semester sebagai tolak ukur keberhasilan sebagai seorang mahasiswa sastra dan itu sangat kurang dari apa yang seharusnya saya dapatkan.
Terbesit dari sebuah pertanyaan, bekal apa yang sudah saya dapatkan untuk menjadi seorang yang bergelar Sarjana Sastra? dan itu memang sangat mengusik pemikiran saya saat ini. saya terlahir sebagai seorang yang perfectionist, yang mendorong saya untuk mencapai hasil yang mendekati sempurna dari apa yang telah saya perjuangkan selama ini. Gejolak rasa yang timbul saat ini sebagai titik balik dimana pada kenyataannya saya memang belum merasa pantas untuk mengemban gelar tersebut nantinya. Sedangkan waktu tidak bisa diputar kembali sesuai dengan apa yang saya harapkan. jika ini saya sebut sebagai penyesalan yang ironis adalah benar adanya. Bagaimana tidak, selama 2 semester akhir ini saya baru merasa seperti seorang yang berlari untuk mendapatkan materi-materi yang sebelumnya belum pernah saya baca atau dapatkan dari manapun kecuali dari kesadaran membaca. Itu pun saya masih merasa kurang dan benar-benar malu nantinya jika dituntut system Universitas untuk segera menyelesaikan Skripsi saya.
Saya adalah orang yang paling bodoh atas tindakan yang memalukan dengan membuang-buang waktu tidak untuk membaca. Kecemasan yang membunuh untuk menjawab pertanyaan apakah saya sudah pantas untuk menjadi Sarjana Sastra yang benar pada proporsinya? dan saya tuliskan ini sebagai penanda kegamangan yang tidak lekas pergi dari otak saya. Rasa yang selalu kurang atas apa yang saya dapatkan adalah sebagai penanda betapa ambisiuanya saya sebagai seorang mahasiswa yang besar pasak daripada tiang. Besar keinginan daripada perbuatan atau action untuk mewujudkan apa yang telah menjadi keinginan dan cita-cita saya. Jika harus dihadapkan dengan motivator yang mengatakan “life must go on”, berarti saya harus tetap berjalan seperti seorang pengemis yang pulang dengan kantong beras yang tidak penuh.
Sastra Prancis adalah salah satu disiplin ilmu yang tidak hanya mempelajari bagaimana berbahasa Prancis dengan baik dan benar namun juga diharuskan mengerti budaya, sejarah, dan kesusatraan Prancis. Sedangkan berapa banyak macam jenis kesusastraan yang dimiliki oleh Negara yang terkenal sebagai Negara yang paling berbudaya dan beradap di benua Eropa itu? jawabannya adalah sangat kompleks. Kenyataan yang terjadi adalah untuk memahami struktur bahasanya saja sudah terasa rumit apalagi jika harus masuk dalam ranah teks-teks fiksi atau non fiksi yang dihasilkan berabad-abad lamanya. Ini bukan berarti saya terlalu banyak mengeluh dan kalah sebelum berperang, namun ini adalah saat dimana saya sudah berperang dan memang musuh yang saya hadapi sangat kuat dan butuh kesiapan ekstra yang harus saya miliki. Sedangkan kesiapan tersebut sedang menari-menari di atas otak saya saat ini. Bukan masalah obat penyuplai kecerdasan otak atau semacamnya, namun masalah apakah sudah pantaskah saya untuk mengemban Sarjana Sastra? Dan semoga mimpi saya indah mala mini! Salam sastra.

Romansah 17/09/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar