Salam berarti bagaimana kita memaknai esensi diri dalam
kedamaian dan keselamatan atas rahmat Tuhan yang terpuji atas segala sesuatu
yang bersinggungan denganNya. Salam berarti islam yang menyediakan diri untuk
berpasrah sepenuhnya atas kehendak Tuhan yang maha Rohman dan Rohim. Salam
berarti mendamaikan diri dalam kehangatan cinta kasih islam sebagi jalan menuju
ketuhanan. Salam tidak sama sekali mengeraskan diri dengan sekitar, masyarakat
dalam kemajemukan, kemajuan jaman yang bertentangan dengan idelogi keagamaan,
apalagi dengan sesama pemeluk islam yang beda pendapat. Jika memang merespon
atau menjawab keberadaan salam adalah wajib atau sebuah keharusan bagi sesama
pemeluk islam maka kewajiban menjawab harus dengan kedamaian dan cinta bukan
dengan kekerasan, pukulan, pengrusakan, penjarahan dll.
Hukum agama adalah aturan yang mengikat dan mengatur bagi
para pemeluk agama yang bersangkutan. Namun bukan berate hukum yang sudah
ditetapkan langsung oleh Tuhan dalam kitab suciNya bukan berarti kaku. Memang
hakikat hukum adalah mutlak bagi siapa saja yang menyembah dalam ketaatan dan
kepatuhan pada sang pembuat hukum tapi bagaimana bisa Tuhan membuat hukum dalam
bentuk kekakuan? Logikanya jika kita mengakui adanya kekuasaan Tuhan yang maha
berkuasa tiada banding, berarti tidak mungkin Tuhan yang dalam menciptakan
hukum saja Nampak kaku dan tidak bisa diterapkan dalam kehidupan penganutnya.
Berarti dalam hal ini yang membuat kaku adalah manusianya sendiri yang sengaja
menyalah pahamkan atau kakuan hati dan pikirannya dalam mengintepretasikan apa
yang dipahaminya terhadap hukum agama. Sehingga Nampak jelas sekali bahwa
manusia sudah tidak mampu memahami dengan benar apa yang diharapkan Tuhan
kepadanya. Jelas-jelas Tuhan memerintahkan manusia hanya untuk menyembahNya,
bukan untuk mempermasalahkan aturan-aturan yang diterjemahkan berbeda oleh
sebagian pemeluk islam. Sekalipun cara untuk menyembah Tuhan sudah dijelaskan
secara rinci tapi bukan berarti yang belum mampu memahami apa yang telah
dirincikan maka boleh saja dong mereka menyembah dengan apa yang mereka bisa
pahami? Toh juga urusan menyembah kepada Tuhan adalah urusan Transendental atau
Goib.
Diman-mana tindakan menghakimi hukum adalah tidak benar.
Kiranya saja menghakimi maling ketika kepergok mencuri motor saja tidak
dibenarkan secara agama dan Negara apalagi menghakimi ritual penyembahan Tuhan
yang notabene abstrak/goib. Keyakinan tidak untuk diperdebatkan karena
keberadaannya tersembunyi dalam hati masing-masing. Surga dan neraka adalah hak
perogratif Tuhan, bukan manusia yang mengaku paling mengenal Tuhannya
sampai-sampai saling menghancurkan apa yang dianggapnya tidak benar.
Menjawab salam memang wajib bagi umat islam, namun menjawab
salam yang diucapkan imam ketika sholat berjamah pada Takhiyat akhir juga tidak
boleh dijawab oleh makmum, namun harus diikuti salam juga. Nah berarti dalam konteks ini harus disesuaikan
dengan situasi dan kondisi. Bersentuhan badan dengan lawan jenis yang bukan
muhrim memang dilarang oleh agama islam, lalu bagaimana jika suatu ketika kita
dihadapkan dengan kecelakaan parah yang dialami lawan jenis dan mengharuskan
kita bertindak cepat untuk menolongnya sekalipun dia bukan mukhrim kita.
Ini lah konteks
dimana salam yang mempunyai penerapan makna yang berbagi-bagai namun sering
juga tidak benar-benar dipahami isinya. Salam yang sering diucapkan diujung
bibir namun tidak dihayati dalam hati akan menjadikan arah berpikir yang keras
dan kaku, begitu juga untuk hukum-hukum yang lainnya. Terkadang manusia
terlalu sibuk untuk beragama dan kemudian melupakan Tuhan. Lebih baik mana
antara berketuhanan dengan berkeagamaan? Yang jerlas dengan berketuhanan kita
otomatis menggunakan agama sebagai jalam atau cara untuk menuju kepada Tuhan,
namun jika sibuk beragama makan kita akan lupa dan tebuai dam persimpangan
jalan dan akhirnya kita melupakan tujuan utama menuju Tuhan. Salam Sastra!
Romansah
7-08-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar