Rabu, 04 September 2013

Salam dalam konteks beragama dan berketuhanan


Salam berarti bagaimana kita memaknai esensi diri dalam kedamaian dan keselamatan atas rahmat Tuhan yang terpuji atas segala sesuatu yang bersinggungan denganNya. Salam berarti islam yang menyediakan diri untuk berpasrah sepenuhnya atas kehendak Tuhan yang maha Rohman dan Rohim. Salam berarti mendamaikan diri dalam kehangatan cinta kasih islam sebagi jalan menuju ketuhanan. Salam tidak sama sekali mengeraskan diri dengan sekitar, masyarakat dalam kemajemukan, kemajuan jaman yang bertentangan dengan idelogi keagamaan, apalagi dengan sesama pemeluk islam yang beda pendapat. Jika memang merespon atau menjawab keberadaan salam adalah wajib atau sebuah keharusan bagi sesama pemeluk islam maka kewajiban menjawab harus dengan kedamaian dan cinta bukan dengan kekerasan, pukulan, pengrusakan, penjarahan dll.

Hukum agama adalah aturan yang mengikat dan mengatur bagi para pemeluk agama yang bersangkutan. Namun bukan berate hukum yang sudah ditetapkan langsung oleh Tuhan dalam kitab suciNya bukan berarti kaku. Memang hakikat hukum adalah mutlak bagi siapa saja yang menyembah dalam ketaatan dan kepatuhan pada sang pembuat hukum tapi bagaimana bisa Tuhan membuat hukum dalam bentuk kekakuan? Logikanya jika kita mengakui adanya kekuasaan Tuhan yang maha berkuasa tiada banding, berarti tidak mungkin Tuhan yang dalam menciptakan hukum saja Nampak kaku dan tidak bisa diterapkan dalam kehidupan penganutnya. Berarti dalam hal ini yang membuat kaku adalah manusianya sendiri yang sengaja menyalah pahamkan atau kakuan hati dan pikirannya dalam mengintepretasikan apa yang dipahaminya terhadap hukum agama. Sehingga Nampak jelas sekali bahwa manusia sudah tidak mampu memahami dengan benar apa yang diharapkan Tuhan kepadanya. Jelas-jelas Tuhan memerintahkan manusia hanya untuk menyembahNya, bukan untuk mempermasalahkan aturan-aturan yang diterjemahkan berbeda oleh sebagian pemeluk islam. Sekalipun cara untuk menyembah Tuhan sudah dijelaskan secara rinci tapi bukan berarti yang belum mampu memahami apa yang telah dirincikan maka boleh saja dong mereka menyembah dengan apa yang mereka bisa pahami? Toh juga urusan menyembah kepada Tuhan adalah urusan Transendental atau Goib.
Diman-mana tindakan menghakimi hukum adalah tidak benar. Kiranya saja menghakimi maling ketika kepergok mencuri motor saja tidak dibenarkan secara agama dan Negara apalagi menghakimi ritual penyembahan Tuhan yang notabene abstrak/goib. Keyakinan tidak untuk diperdebatkan karena keberadaannya tersembunyi dalam hati masing-masing. Surga dan neraka adalah hak perogratif Tuhan, bukan manusia yang mengaku paling mengenal Tuhannya sampai-sampai saling menghancurkan apa yang dianggapnya tidak benar.
Menjawab salam memang wajib bagi umat islam, namun menjawab salam yang diucapkan imam ketika sholat berjamah pada Takhiyat akhir juga tidak boleh dijawab oleh makmum, namun harus diikuti salam juga. Nah berarti dalam konteks ini harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Bersentuhan badan dengan lawan jenis yang bukan muhrim memang dilarang oleh agama islam, lalu bagaimana jika suatu ketika kita dihadapkan dengan kecelakaan parah yang dialami lawan jenis dan mengharuskan kita bertindak cepat untuk menolongnya sekalipun dia bukan mukhrim kita.
Ini lah konteks dimana salam yang mempunyai penerapan makna yang berbagi-bagai namun sering juga tidak benar-benar dipahami isinya. Salam yang sering diucapkan diujung bibir namun tidak dihayati dalam hati akan menjadikan arah berpikir yang keras dan kaku, begitu juga untuk hukum-hukum yang lainnya. Terkadang manusia terlalu sibuk untuk beragama dan kemudian melupakan Tuhan. Lebih baik mana antara berketuhanan dengan berkeagamaan? Yang jerlas dengan berketuhanan kita otomatis menggunakan agama sebagai jalam atau cara untuk menuju kepada Tuhan, namun jika sibuk beragama makan kita akan lupa dan tebuai dam persimpangan jalan dan akhirnya kita melupakan tujuan utama menuju Tuhan. Salam Sastra!


Romansah
7-08-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar